Berbisnis di tengah kekacauan hukum: Legalisme iliberal di Indonesia merupakan penelitian yang berangkat dari situasi kontradiktif, namun menarik untuk ditelaah dan menjadi diskursus lebih lanjut. Pada akhir 2019, terdapat beberapa kekacauan perihal situasi politik dan hukum seperti revisi UU KPK yang dianggap melemahkan komisi antirasuah tersebut dan penyusunan UU Cipta Kerja yang kontroversial, yang kemudian memunculkan pro dan kontra, hingga gelombang protes di banyak tempat. Namun situasi tersebut nyatanya tidak menjadi penghalang pertumbuhan ekonomi yang mencapai rata-rata 5% dan bersifat produktif.
Hal tersebut disampaikan oleh pengajar sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Abdul Mughis Mudhoffir, dan pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rafiqa Qurrata A’yun, dalam Kuliah Umum Mata Kuliah Kebijakan Publik bertajuk “Berbisnis di Tengah Kekacauan Hukum: Legalisme Iliberal di Indonesia” pada Rabu (29/9/2021) secara daring.
Keduanya mencoba menjelaskan dan memantik diskursus terkait hal yang kontradiktif tersebut dengan menerapkan perspektif ekonomi dan politik yang kritis yakni salah satu ciri legalisme adalah merupakan produk dari relasi yang khas antara negara dengan kekuatan ekonomi. Ketiadaan supremasi hukum yang dapat berjalan beriringan dengan pembangunan ekonomi menandakan suatu bentuk legalisme yang tidak liberal. Baik Mughis maupun Rafiqa menjabarkan bahwa legalisme tersebut lahir dan tumbuh dalam perspektif kapitalisme tertentu, yang dicirikan dengan penggunaan sarana dan kekuatan ekstra-ekonomi yang menonjol, termasuk kekacauan dan pelanggaran hukum, dalam menyusun kekuasaan dan mengumpulkan sumber daya.
Baik Mughis maupun Rafiqa melanjutkan pemaparan dengan gambaran sederhana yang menjelaskan kemampuan dominan pelaku politik dan bisnis yang bermain dalam situasi tersebut. Pelaku politik dan bisnis dengan berbagai kuasa dan sumber daya kemudian mampu beradaptasi dengan berbagai bentuk ketidakteraturan dan ambiguitas hukum yang bermuara pada legalisme iliberal. Kemampuan tersebut juga menegaskan bahwa kehadiran tatanan hukum yang rasional, sebagaimana yang didefinisikan dan dipopulerkan oleh Weber, tidak selalu berbanding lurus dengan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian Mughis dan Rafiqa kemudian menyimpulkan satu fakta yakni berbagai ketidakteraturan hukum tersebut telah digunakan sebagai instrumen untuk memfasilitasi akumulasi kuasa dan sumber daya oleh aktor politik dan ekonomi, dan memperteguh praktik rent-seeking sebagai salah satu metodenya. Hal tersebut membuat manfaat pertumbuhan ekonomi menjadi samar, terutama untuk masyarakat secara luas.