preloader

Pasal Living Law KUHP: Melindungi atau Membatasi Masyarakat?

Oleh: Afifah Fitriyani Oceanto

Pengesahan Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 6 Januari 2023 menuai kontroversi. Pasal 2 KUHP yang mengakui keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat dianggap membawa ancaman serius terhadap kebebasan individu dan hak asasi manusia (HAM).

Apakah pasal ini memberikan perlindungan yang lebih baik atau justru membuka jalan bagi penyalahgunaan kekuasaan dan diskriminasi?

Pasal 2 KUHP baru menyatakan bahwa ketentuan hukum yang ada tidak mengurangi keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat. Ini berarti hukum adat atau kebiasaan masyarakat masih bisa berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar negara dan hak asasi manusia. Namun, ketidakjelasan batasan dalam pasal ini memicu kekhawatiran masyarakat..

Pasal 2 ayat 2 menegaskan bahwa hukum yang berlaku di masyarakat tetap relevan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar negara dan hak asasi manusia. Selain itu, Pasal 2 ayat 3 menyebutkan bahwa prosedur dan kriteria penetapan hukum dalam masyarakat akan diatur oleh Peraturan Pemerintah.

Pasal ini disebut Living Law, sebuah konsep yang berkembang sebagai respons terhadap hukum positif yang hanya mempertimbangkan hukum tertulis negara dan mengabaikan hukum yang hidup dalam masyarakat. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Eugen Ehrlich yang berpendapat bahwa hukum sebenarnya tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, bukan hanya dibuat oleh negara atau melalui putusan hakim. Living Law adalah hukum yang mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat, meskipun belum diakui sebagai hukum formal.

Sebelum disahkan, KUHP baru ini menuai berbagai kritik dan tuntutan untuk dikaji ulang. Kritik utama terkait Pasal 2 adalah ketidakjelasan dalam memberikan batasan hukum yang konkret. Pasal ini dianggap membuka peluang terjadinya persekusi dan praktik main hakim sendiri terhadap individu yang dianggap tidak sesuai dengan norma dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat.

Pada 2018, Komnas Perempuan mendokumentasikan 421 Peraturan Daerah (Perda) yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan, seperti larangan keluar malam dan ketentuan cara berpakaian. Dalam konteks ini, keberadaan Pasal 2 ayat 1 menimbulkan kekhawatiran karena ketidakjelasan dalam batasan hukum yang boleh atau tidak boleh diatur oleh pemerintah.

 

Implikasi terhadap Masyarakat dan Penjaminan HAM

Pasal 2 KUHP menciptakan paradoks dalam kehidupan bermasyarakat. Seharusnya masyarakat dihormati dalam keragaman cara hidup dan pandangan. Akan tetapi, pasal ini justru membatasi kebebasan individu untuk memiliki cara hidup dan pandangan yang beragam.

Dalam masyarakat yang heterogen, setiap individu tentu memiliki cara hidup dan pandangan unik. Implikasi tidak jelas dari pasal ini dapat dianggap sebagai pembatasan terhadap kebebasan berpikir dan berpendapat.

Pasal 2 KUHP juga menciptakan potensi dominasi dari kelompok tertentu yang berusaha memengaruhi pembentukan peraturan pemerintah sesuai pandangan mereka. Ini menimbulkan risiko terhadap pluralitas dan kebebasan bermasyarakat yang seharusnya menjadi pondasi utama dalam sistem hukum yang adil dan inklusif.

Kehadiran Pasal Living Law menjadi tantangan dalam penjaminan hak asasi manusia. Pasal ini berisiko terhadap perlindungan hak individu karena frasa yang ambigu dapat mengakibatkan potensi penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM.

Pasal 2 KUHP mengenai Living Law perlu mendapat perhatian khusus dalam implementasinya. Kejelasan dan pengaturan bijak diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan perlindungan hak asasi individu.

Sebagai pilar keadilan, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk berkolaborasi guna merumuskan landasan hukum yang mencerminkan nilai-nilai pluralitas dan hak asasi manusia. Dengan demikian, Living Law dapat menjadi instrumen yang memperkaya, bukan membatasi kehidupan bermasyarakat yang heterogen.

 

*Penulis adalah mahasiswa STH Indonesia Jentera dan penerima Beasiswa Jentera. Afifah merupakan salah satu peserta lokakarya akademik dan diskusi publik Gelombang Baru Aktivisme Pemuda dan Pelajar di Indonesia yang diadakan oleh EngageMedia.