Kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dari relasinya terhadap sistem dan situasi politik, lembaga negara lain kaitannya dalam sistem kontrol dan keseimbangan, sensitivitas terhadap isu sosial, dan pengaturan terhadap sistem Mahkamah Konstitusi itu sendiri seperti dasar hukum, kewenangan, dan pengisian jabatan hakim.
Hal tersebut disampaikan oleh Tillburg law School, Public Law & Governance, Prof. Maurice Adams pada agenda International Lecture bertajuk “Declining Public Trust Towards Constitutional Court: A Comparative Perspective” pada Jumat (26/5/2023) di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera. Diskusi tersebut juga dihadiri oleh Guru Besar Luar Biasa STH Indonesia Jentera, Prof. Susi Dwi Harijanti.
Prof. Maurice menambahkan, penurunan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi juga menjadi kendala di beberapa negara. Contohnya adalah eksistensi Mahkamah Konstitusi di Belgia dan Israel yang terkendala oleh manuver politik dari parlemen. Pada kasus terbaru di Belgia, pelemahan kepercayaan terhadap Mahkamah Konstitusi menguat karena penolakan dua pertiga dari total parlemen federal yang menolak keputusan Mahkamah Konstitusi terkait hak-hak sosial. Di Israel, independensi pengadilan konstitusi terkendala oleh sistem pemilihan hakim yang mengatur keanggotaan hakim konstitusi yang mayoritas berasal dari perwakilan pemerintah.
Terkait melemahnya kepercayaan terhadap Mahkamah Konstitusi, Prof. Maurice menyebut bahwa seringkali pengadilan dianggap terlalu “aktivis”, sehingga terkesan eksklusif. Ada upaya pembenturan antara konsepsi demokrasi konstitusional dan konsepsi rakyat terkait demokrasi yang kerap dijadikan senjata oleh parlemen. Melihat fenomena tersebut, Prof. Maurice mengajak untuk melihat gambaran trias politica yang lebih utuh. Pembagian kekuasaan menjadi hal yang mutlak dijaga agar pondasi keseimbangan antar cabang-cabang kekuasaan tetap berjalan dan tidak mengganggu kinerja serta independensi masing-masing.
Senada dengan Prof. Maurice, Prof. Susi berpandangan bahwa ketidakpercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi disebabkan oleh penurunan kinerja pengadilan baik secara kapasitas maupun etik, defisiensi terhadap sistem hukum yang memayungi kinerja mahkamah, dan terbatasnya informasi serta diskursus publik yang dapat menjadi mitra kritis terhadap situasi tersebut. Dalam konteks Indonesia, perbaikan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi dapat diupayakan melalui tiga hal yakni prosedur dan kinerja yang adil, publisitas secara transparan dan akuntabel, dan penalaran terhadap fenomena hukum yang rasional.
Terkait penurunan kinerja secara etik, Prof. Susi mencontohkan beberapa kasus yang mendera Mahkamah Konstitusi di Indonesia setidaknya dalam 20 tahun terakhir. Kasus pelanggaran etik mantan Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi pada 2011, kasus korupsi tangkap tangan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar pada 2013, dan yang belum lama terjadi kejanggalan pengangkatan Guntur Hamzah sebagai Hakim Konstitusi menjadi gambaran degradasi kinerja etik Mahkamah Konstitusi yang menyebabkan turunnya kepercayaan masyarakat. Prof. Susi menambahkan, kinerja Mahkamah Konstitusi juga menjadi sorotan akibat putusannya yang dianggap menguntungkan aktor atau kelompok politik tertentu. Kasus terdekat, terkabulnya uji materi perkara perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK dan isu putusan sistem pemilu secara proporsional tertutup memantik dugaan adanya abusive judicial review oleh Mahkamah Konstitusi.
Sebagai kesimpulan, baik Prof. Maurice maupun Prof. Susi menegaskan bahwa kepercayaan terhadap Mahkamah Konstitusi dapat kembali dibangun dengan perbaikan kinerja, penguatan independensi, dan pemisahan wewenang yang tegas agar peradilan konstitusi terhindari dari agenda politik aktor dan kelompok tertentu.