Larangan penjualan rokok batangan di Indonesia tak akan sebatas wacana. Presiden Joko Widodo menegaskan niat itu dalam sebuah pernyataan akhir tahun lalu.
Pemerintah memang baru saja memberikan sinyal akan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Kepastian itu tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023.
Tak hanya soal (1) larangan penjualan rokok secara batangan, butir-butir pengaturan yang akan dimuat dalam revisi PP 109/2012 juga mencakup beberapa hal: (2) penambahan persentase gambar peringatan kesehatan pada kemasan produk tembakau; (3) ketentuan tentang rokok elektronik; (3) larangan iklan, promosi, sponsorship di media teknologi informasi; (4) pengawasan iklan, promosi, sponsorship; (6) penegakan dan penindakan; serta (7) media teknologi informasi dan penerapan kawasan tanpa rokok.
Ketujuh butir perubahan tersebut perlu kita kawal ketat agar keberadaan regulasi pengendalian tembakau tak sekadar formalitas, tapi betul-betul dapat dilaksanakan. Tidak menjadi “macan kertas” seperti yang terjadi pada PP 109/2012 selama ini.
Indonesia paling tertinggal
Rencana pemerintah untuk merevisi aturan tentang pengendalian tembakau demi menurunkan konsumsi rokok tentu patut diapresiasi. Apalagi, sebelumnya, pemerintah juga sudah menetapkan kenaikan cukai rokok untuk tahun 2023 dan 2024 sekaligus.
Sejumlah ketentuan dalam PP 109/2012 memang perlu diperbarui untuk membuat peraturan ini lebih efektif dalam menurunkan konsumsi rokok secara umum maupun mencegah perokok baru di kalangan remaja.
Terkait kemasan produk tembakau, misalnya, PP 109/2012 mensyaratkan gambar peringatan kesehatan hanya 40% dari luas kemasan produk. Persentase ini merupakan yang terkecil di antara semua negara ASEAN.
Thailand dan Singapura mengambil langkah paling progresif dengan menyeragamkan semua produk tembakau dalam kemasan polos tanpa logo disertai peringatan kesehatan bergambar dengan proporsi 75-85% dari total luas kemasan.
Mengenai peredaran rokok elektronik, Indonesia bersama Myanmar paling tertinggal di ASEAN karena belum memiliki regulasi spesifik tentang produk tersebut. Mayoritas negara di wilayah ini, termasuk Kamboja dan Laos, tegas melarang penjualan dan penggunaan rokok elektronik di negara mereka.
Sementara itu, dalam hal pelarangan iklan produk tembakau di media cetak dan elektronik, hanya Indonesia yang belum menerapkan aturan itu di kawasan ASEAN.
Dalam konteks penegakan, PP 109/2012 selama ini masih lemah. Kasus Perkumpulan Bulu Tangkis Djarum (PB Djarum) yang menjadi sponsor utama kegiatan audisi bulu tangkis untuk anak-anak beberapa tahun silam adalah bukti bahwa regulasi ini kesulitan menjangkau sejumlah pelanggaran yang terjadi di lapangan.
Peraturan itu memang sangat longgar dalam membatasi promosi dan sponsorship yang mengatasnamakan tanggung jawab korporasi (CSR) perusahaan tembakau.
Larangan intervensi industri perlu diatur
Di luar poin-poin perubahan yang sudah direncanakan pemerintah, masih terdapat hal-hal lain yang seharusnya diatur dalam revisi nanti.
Salah satunya larangan bagi industri tembakau untuk terlibat atau menjalin relasi dengan pihak pemerintah. Ketentuan semacam itu lumrah diterapkan di banyak negara yang telah meratifikasi atau mengaksesi Konvensi Organisasi Kesehatan Dunia untuk Pengendalian Tembakau (FCTC WHO).
Hingga kini, Indonesia masih menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia-Pasifik yang belum mengaksesi FCTC. Salah satu konsekuensinya, industri tembakau masih berperan dalam berbagai aktivitas yang bersinggungan dengan pemerintah, termasuk dalam pembentukan kebijakan terkait pengendalian tembakau.
Meski terdengar ironis, fakta ini tidak mengagetkan mengingat angka perokok di Indonesia yang terus meningkat seiring dengan lemahnya kebijakan negara dalam mengendalikan dampak tembakau.
Rencana revisi PP 109/2012 perlu dijadikan batu pijakan untuk langkah yang lebih besar pada masa mendatang, yakni menaikkan pengaturan mengenai pengendalian tembakau ke level undang-undang.
Lebih dari satu dekade lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah pernah memasukkan RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan ke dalam daftar prioritas legislasi.
Namun, RUU itu kemudian dihapus dari daftar dan digantikan oleh RUU Pertembakauan yang hingga kini masih tercantum dalam program legislasi nasional lima tahun. RUU Pertembakauan disusun dengan menggunakan perspektif industri yang menginginkan penambahan produksi tembakau. Ini jelas tak sejalan dengan upaya pengendalian tembakau yang mendorong pembatasan konsumsi atas produk tembakau.
Rancangan peraturan yang harus diwaspadai
Bersamaan dengan rencana revisi PP 109/2012, pemerintah juga tengah menyusun Peraturan Presiden tentang Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau, sebagaimana tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Presiden Tahun 2023.
Keinginan pemerintah itu janggal karena regulasi dengan substansi yang sama, yakni Peraturan Menteri Perindustrian tentang Peta Jalan Industri Hasil Tembakau Tahun 2015-2020, telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung setelah dianggap bertentangan dengan lima undang-undang.
Langkah pemerintah untuk menyusun kembali kebijakan yang sama, bahkan dengan level peraturan yang lebih tinggi, bukan saja mengkhianati putusan peradilan tetapi juga tak konsisten dengan upaya pemerintah yang ingin memperbaiki regulasi pengendalian tembakau agar lebih berpihak pada kepentingan kesehatan masyarakat.
Di sisi parlemen, DPR saat ini tengah mengusulkan RUU Kesehatan yang disusun dengan metode omnibus, menggabungkan 13 undang-undang di bidang kesehatan ke dalam satu naskah.
Apabila tidak diawasi oleh masyarakat, proses pembentukan RUU ini berpotensi menjadi bola liar. Belum hilang dari ingatan, ketentuan yang menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif sempat “lenyap” dari naskah akhir RUU Kesehatan tahun 2009 setelah disetujui parlemen.
Terlebih lagi, dengan kerumitan metode omnibus, proses penyusunan RUU akan semakin sulit dipantau. Masyarakat sipil harus melawan segala tindakan yang membatasi partisipasi publik dalam proses pembentukan RUU Kesehatan.
Kecenderungan pembatasan itu sangat mungkin dilakukan pemerintah dan DPR demi mempercepat proses pembahasan, seperti yang terjadi pada proses legislasi RUU Cipta Kerja dua tahun lalu.
Selain mengawasi proses, advokasi jangka pendek yang bisa dilakukan para akademisi dan aktivis di bidang pengendalian tembakau adalah mendesak DPR dan pemerintah untuk memasukkan ketentuan tentang rokok dan tembakau ke dalam RUU Kesehatan dengan pengaturan yang jelas dan komprehensif, disertai pencantuman konsekuensi sanksi pidana, administratif, dan perdata yang terukur.
Kita butuh regulasi pengendalian tembakau yang lebih keras terhadap industri tembakau untuk menurunkan kecanduan rokok di masyarakat.
Dengan demikian, revisi PP 109/2012 nantinya dapat difokuskan pada ketentuan teknis untuk mempermudah aparat di lapangan melaksanakan amanat UU Kesehatan tersebut.