Pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang yang melewati batas waktu masa sidang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 menunjukkan tata kelola legislasi yang semakin buruk saat ini. Perppu ini dibentuk disertai dengan kontroversi mengenai tidak adanya urgensi kegentingannya dan ketidaktaatan terhadap putusan MK yang memutuskan memperbaiki proses pembahasan UU Cipta Kerja. Alih-alih membahas dengan terbuka dan membuka ruang partisipasi lebih luas, Presiden mengambil jalan pintas dengan menerbitkan Perppu.
UU Cipta Kerja yang menjadi cikal bakal Perppu ini lahir, juga disertai banyak catatan negatif substansi maupun proses pembentukannya. Materi muatan bertentangan dengan prinsip perundang-undangan maupun sektoral dan proses yang elitis serta tidak transparan. Bahkan terdapat kesalahan pengetikan dalam naskah UU Cipta Kerja. Selain UU Cipta Kerja, kritik keras baik terhadap substansi maupun proses pembentukanya juga muncul terhadap UU Ibu Kota Negara. Proses pembentukannya berlangsung sangat cepat dan materi muatan yang dinilai bertentangan dengan konstitusi maupun kerangka teori yang terkait dengan pengaturan materi tertentu.
Tak hanya pada level undang-undang, persoalan juga terdapat dalam peraturan di bawah undang-undang. Beberapa peraturan dicabut atau direvisi tak lama setelah dibentuk dan mendapat kritik dari masyarakat. Peraturan tersebut antara lain PP No. 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, Perpres No. 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, Perpres No. 36 Tahun 2020 Pengembangan Kompetensi Kerja melalui Program Kartu Prakerja, dan Perpres No. 39 Tahun 2015 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara pada Lembaga Negara untuk Pembelian Kendaraan Perorangan.
Beragam persoalan perundang-undangan tersebut memunculkan pertanyaan bagaimana implementasi reformasi regulasi yang sering disampaikan Presiden Joko Widodo?
Pembenahan Regulasi dan RPJMN 2020-2024 yang Belum Terealisasi
Dalam berbagai kesempatan, di awal-awal masa jabatan periode kedua, Presiden Joko Widodo sering mengeluhkan persoalan perundang-undangan yang menjadi hambatan dalam pembangunan. Sejalan dengan itu diskusi perlunya reformasi regulasi semakin berkembang baik di kalangan publik maupun birokrat. Bahkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 (RPJMN 2020-2024) memasukkan beberapa program terkait reformasi regulasi tersebut. Termasuk rencana pembentukan badan perundang-undangan atau lembaga pengelola regulasi yang tercantum dalam Lampiran Perpres No. 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024.
RPJMN 2020-2024 menyebutkan salah satu kebijakan dan strategi dalam pembangunan hukum adalah penataan regulasi yang dilakukan antara lain melalui pembentukan lembaga pengelola regulasi. Dalam dokumen perencanaan tersebut juga diuraikan fokus dari lembaga pengelola regulasi adalah sinkronisasi pemangku kepentingan, integrasi monitoring dan evaluasi (monev), optimalisasi akses dan partisipasi publik, penguatan harmonisasi dan sinergitas serta dukungan database berbasis teknologi informasi.
Pembentukan lembaga atau badan regulasi merupakan satu upaya penting dalam melakukan reformasi regulasi di Indonesia. Selain tercantum dalam dokumen RPJMN 2020-2024, urgensi pembentukan lembaga tersebut telah direkomendasikan oleh OECD dalam laporan OECD Reviews of Regulatory Reform: Indonesia 2012.
Strategi penataan regulasi yang tercantum dalam dokumen RPJMN 2020-2024 tersebut, termasuk rekomendasi OECD, menunjukkan adanya prioritas dalam penanganan permasalahan sistem regulasi terutama terkait sinkronisasi pemangku kepentingan, integrasi monev, dan penguatan harmonisasi. Namun sampai saat ini, kurang dari satu tahun sebelum pemilihan presiden, tidak tampak ada langkah kongkret pemerintah merealisasikan pembentukan lembaga tersebut.
Upaya realisasi pembentukan badan regulasi dan secara lebih luas reformasi regulasi sistemik perlahan hilang dalam diskursus publik maupun kebijakan pemerintah seiring dengan fokus membentuk UU Cipta Kerja. Seolah reformasi regulasi disimplifikasi dengan pembentukan UU Cipta Kerja dengan metode omnibus. Bahkan diskursus UU Cipta Kerja ini mendominasi hampir lebih dari setengah periode jabatan kedua Presiden Joko Widodo. Bahkan sampai saat ini kontroversinya tak kunjung selesai sampai dengan saat ini.
Presiden pun tak pernah lagi mendorong upaya pembenahan regulasi baik di pusat maupun daerah. Upaya yang sering disampaikan saat periode pertama jabatan sampai dengan awal jabatan periode kedua. Apakah Presiden merasa cukup dengan adanya UU Cipta Kerja sehingga tak perlu lagi pembenahan regulasi? Padahal yang terjadi adalah praktik pembentukan UU Cipta Kerja termasuk dalam bentuk Perpu tidak sejalan dengan semangat pembenahan regulasi bahkan malah memperburuk tata kelola regulasi saat ini.
Tidak Ada Pembenahan Mendasar Tata Kelola Regulasi
Fokus Presiden yang hanya menjadikan UU (omnibus) Cipta Kerja sebagai titik akhir pembenahan regulasi telah mengabaikan kebutuhan adanya pembenahan secara menyeluruh terhadap tata kelola regulasi. Kajian Reformasi Regulasi Indonesia yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia pada 2019 menekankan perlunya pembenahan tata kelola regulasi yang sistematis dan menyasar pada perbaikan sistem secara menyeluruh serta berkelanjutan.
Tak ada upaya signifikan lainnya yang dilakukan pemerintah. Integrasi fungsi dalam tata kelola regulasi, perbaikan perencanaan, tata kelola harmonisasi, perbaikan partisipasi dan penerapan monev yang merupakan strategi utama perbaikan tidak dilakukan. Peluang melakukan perubahan secara menyeluruh sebenarnya terbuka saat dilakukannya revisi kedua UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pada 24 Mei 2022, pemerintah dan DPR menyepakati perubahan kedua UU No. 12 Tahun 2011. Namun tidak ada terobosan kebijakan yang mendasar untuk memperbaiki tata kelola regulasi. Perubahan undang-undang tersebut lebih banyak mengatur ketentuan tentang penggunaan metode omnibus dalam penyusunan undang-undang.
Sama halnya dengan kebijakan periode sebelumnya yang seringkali melakukan perbaikan secara parsial dan kasuistis. Pendekatan tersebut berulang dan terbukti tidak memberikan perubahan yang baik dalam tata kelola regulasi di Indonesia. Padahal dalam periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, terdapat beberapa langkah terobosan yang dilakukan di antaranya pemangkasan regulasi melalui simplifikasi, pengetatan pengusulan untuk mengurangi hiperregulasi, monitoring peraturan daerah, analisis evaluasi, dan harmonisasi. Namun langkah-langkah tersebut hanya bersifat sporadis dan tidak berjalan secara berkelanjutan.
Langkah Prioritas di Sisa Masa Jabatan
Langkah reformasi regulasi perlu dilakukan terus menerus sebagai upaya meningkatkan kualitas regulasi di Indonesia. Rendahnya kualitas baik proses maupun substansi regulasi akan berdampak buruk pada kepercayaan dan ketaatan masyarakat terhadap instrumen hukum. Dampaknya pada kepastian hukum dan tentu saja berimbas juga pada eksistensi Indonesia sebagai negara hukum.
Di sisa masa jabatan yang hanya sekitar satu tahun ini, komitmen Presiden Joko Widodo untuk melakukan pembenahan tata kelola regulasi masih diperlukan realisasinya sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2020-2024. Sasaran yang perlu dicapai adalah perbaikan mendasar dan berkelanjutan dalam tata kelola regulasi melalui beberapa langkah reformasi regulasi.
Pertama, menyusun perpres yang mengatur tata kelola regulasi sebagai tindak lanjut pengaturan dalam UU No. 12 Tahun 2011 besera perubahannya. Materi tersebut meliputi pengaturan tentang pemantauan dan peninjauan (monev) pelaksanaan undang-undang dan dan pengaturan tentang partisipasi dan konsultasi masyarakat. Materi lain yang perlu disusun melalui perpres terkait dengan pengaturan tentang pelaksanaan harmonisasi dan simplifikasi yang di antaranya meliputi penyederhanaan dan pengetatan pengusulan peraturan perundang-undangan. Pengaturan ini perlu dilakukan untuk melembagakan dan menjamin keberlanjutan langkah pembenahan regulasi yang telah dilakukan sebelumnya.
Kedua, menyusun kebijakan mengenai pendekatan penyusunan peraturan perundang-undangan dengan mengacu pada prinsip good regulatory practices dan penekanan pada evidence-basedlegislation and regulation. Langkah awal pernah dilakukan dengan dikeluarkannya Inpres No. 7 Tahun 2017 tentang Pengambilan, Pengawasan dan Pengendalian Pelaksanaan kebijakan di Tingkat Kementerian Negara dan Lembaga Pemerintah. Instrumen kebijakan ini perlu diperkuat lagi untuk memberikan kepastian implementasi di lingkungan pemerintah.
Ketiga, membentuk unit kerja yang bertugas untuk menyusun dan bersama dengan kementerian/lembaga terkait mengimplementasikan kebijakan-kebijakan pembenahan tata kelola regulasi serta melakukan monev regulasi. Unit kerja ini dapat menjadi rintisan bagi pembentukan lembaga pengelola regulasi yang akan mempunyai susunan kelembagaan, tugas dan fungsi yang lebih luas.
Ketiga langkah tersebut merupakan langkah prioritas dengan mempertimbangkan waktu yang tersedia di sisa masa jabatan Presiden Joko Widodo saat ini dan untuk menjamin keberlanjutan upaya reformasi regulasi. Ketiganya harus dilakukan untuk memperbaiki tata kelola regulasi dan memastikan keberlanjutannya ke depan.
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/benang-kusut-reformasi-regulasi-lt643780aae18d2/?page=all