Kasus kriminalisasi terhadap aktivis hak asasi manusia, Haris Azhar dan Fatia Maulidayanti memasuki babak baru dengan dakwaan dugaan tindak pidana penghinaan dan atau pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Dalam amar dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum menyatakan bahwa Haris dan Fatia didakwa melanggar Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, serta Pasal 310 KUHP.
Kasus kriminalisasi tersebut kemudian didiskusikan dalam tajuk “Kriminalisasi Fatia & Haris: Suatu Tinjauan Interdisipliner” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera pada Kamis (6/4/2023) secara daring. Hadir sebagai narasumber yakni pengajar Jentera, Bivitri Susanti dan Fajri Nursyamsi yang masing-masing meninjau kasus tersebut dari sudut pandang hukum tata negara dan penalaran hukum, serta sejarawan JJ Rizal yang berbicara dari sudut pandang sejarah.
Menanggapi fenomena hukum tersebut, Fajri Nursyamsi menilai bahwa dakwaan terhadap Haris dan Fatia tidak sejalan dan mencederai komitmen dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menkominfo RI, Jaksa Agung RI, dan Kapolri tentang implementasi atas pasal tertentu dalam UU ITE. Dalam SKB tersebut, pasal yang didakwakan terhadap Haris dan Fatia yakni termasuk dalam kategori pasal tertentu yang tengah diupayakan pembatasan dalam penggunaannya. SKB mengamanatkan bahwa poin 3 huruf c pada Pasal 27 UU ITE tidak lagi diatur sebagai delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik apabila muatan yang dibuat dan didistribusikan adalah hasil penilaian, pendapat, evaluasi, dan kenyataan.
Dalam kasus Haris dan Fatia, Fajri menyebut konteks dari konten yang dibuat adalah untuk membicarakan hasil riset Koalisi Masyarakat Sipil terkait dimensi ekonomi dan politik dalam penempatan kekuatan militer di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua. Pada ihwal tersebut, Fajri menilai bahwa konten yang dibuat dan didistribusikan masuk dalam kategori penilaian, pendapat, dan evaluasi sehingga tidak dapat dikenakan delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Fenomena ini disebut sebagai preseden hukum yang apabila berulang dapat membatasi hak untuk berpendapat.
Fajri juga menilai dakwaan ini sebagai langkah mundur mengingat Pasal 27 UU ITE merupakan salah satu pasal yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sesuai dengan KUHP Baru yang telah diundangkan. Meski ketentuan tersebut baru akan berlaku tiga tahun sejak diundangkan, Fajri menegaskan bahwa ketentuan ini telah memiliki daya laku (validity). Preseden hukum ini juga akan berpotensi merintangi proses transisi keberlakuan KUHP Baru.
Di kesempatan selanjutnya, Bivitri menegaskan bahwa sudah seharusnya hukum dan keadilan adalah instrumen yang dapat dimiliki secara setara oleh semua orang. Preseden kriminalisasi ini menunjukkan bahwa penegakan hukum telah melenceng karena wacana dan fakta yang terjadi adalah hukum yang masih dikuasai oleh orang-orang yang memiliki otoritas. Bivitri menambahkan, wacana dan fakta ini terus dikuatkan dengan narasi legalistik atau positivistik yang memuat pandangan bahwa sistem hukum adalah sistem logis tertutup di mana keputusan yang benar dapat dideduksi dari aturan hukum yang telah ditentukan dengan maksud logis semata.
Pada iklim demokrasi, sudah seharusnya publik memiliki hak untuk berpendapat bahkan mengkritik, sehingga pemerintah mendapatkan umpan balik agar bekerja lebih baik. Terkait dengan hal tersebut, Bivitri menyarankan agar penguasa dapat membedakan dengan cermat apa yang dimaksud dengan kritik atau hinaan. Sebagai manusia, penguasa juga berhak tersinggung apabila dihina. Namun dalam kerja-kerja pemerintahan, penguasa memiliki otoritas yang dengan itu tidak bisa dengan mudah menyamakan kritik dengan hinaan.
Sejalan dengan penyampaian Bivitri, kasus kriminalisasi ini mengingatkan JJ Rizal pada era Orde Baru ketika hukum di Indonesia ditegakkan secara patrimonial dan despotik. Apabila dirunut sejarahnya ke masa kolonial, fenomena seperti ini seakan tidak asing karena telah dikenalkan dan diimplementasikan oleh pemerintahan kolonial pada masyarakat saat itu. Rizal menilai fenomena hukum ini sejalan dengan sistem hukum kolonial yang dikenal sebagai kebijakan Exorbitante Rechten. Kebijakan Exorbitante Rechten didefinisikan sebagai hak penguasa untuk menindak masyarakat yang menghalangi upaya penjajahan oleh pemerintah kolonial. Dengan menarik benang sejarah tersebut, Rizal menyebut terdapat pewarisan basis hukum dari pemerintah kolonial sehingga bukan hal yang aneh apabila kriminalisasi terhadap pengkritik masih kerap terjadi di Indonesia.