Pengajar Jentera, Bivitri Susanti menjadi salah satu pemateri dalam agenda Contitutional Law Forum 2022 (ConLaf 2022) bertajuk “20 Tahun Perubahan UUD 1945” yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi RI bekerja sama dengan Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas (PUSaKO Unand) dan International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) pada Kamis (18/8/2022). Selain Bivitri, agenda tersebut juga menghadirkan narasumber lain yakni Guru Besar Ilmu Politik The University of Chicago, Tom Ginsburg, Hakim Konstitusi periode 2003-2008 dan periode 2015–2020, I Dewa Gede Palguna, dan Hakim Konstitusi 2017-2022, Saldi Isra.
Dalam diskusi tersebut, Bivitri menegaskan bahwa upaya untuk merevisi konstitusi yang telah ada perlu dicermati dengan lebih hati-hati. Bivitri menambahkan bahwa terdapat kecenderungan konstitusi dipandang sebagai produk politik yang dihasilkan oleh suatu peristiwa politik dengan dampak yang signifikan. Pandangan tersebut kemudian termaktub dalam teori pembentukan konstitusi, salah satunya adalah teori golden moment yang menganggap konstitusi lahir dari sebuah peristiwa politik yang berimplikasi luas.
Mencermati hal tersebut, Bivitri mengingatkan bahwa publik perlu kritis untuk melihat upaya revisi konstitusi di saat situasi politik berlangsung terkendali. Analisis kritis diperlukan terutama guna mempertanyakan urgensi dan menyaring kepentingan yang tidak mewakili masyarakat secara luas. Satu hal penting yang perlu dikritisi menurut Bivitri adalah ihwal fenomena autocratic legalism, yang pada bagian akhir dari fenomena tersebut berbicara perihal revisi konstitusi yang bertujuan untuk menghapuskan pembatasan kekuasaan presiden.
Bivitri kemudian menjabarkan, setidaknya terdapat tiga respon yang mengemuka terkait amendemen konstitusi. Pertama, terdapat komponen yang beranggapan bahwa amandemen diperlukan guna upaya perubahan. Salah satu perubahan yang diusulkan adalah untuk memasukkan kembali Garis Besar Haluan Negara ke dalam UUD 1945. Kedua, terdapat pandangan yang menuntut UUD 1945 kembali pada naskah awal sebagaimana yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945. Pandangan ini banyak disuarakan oleh komponen yang menganggap bahwa amendeman konstitusi yang berlangsung pada 1999-2002 banyak diintervensi oleh pihak asing sehingga bermuatan demokrasi liberal. Terhadap pandangan kedua, Bivitri beranggapan bahwa kembali pada naskah awal bukan pilihan yang bijak mengingat UUD 1945 sebelum diamendemen banyak memberikan porsi dan kelonggaran terhadap penguasa serta ketergantungan tinggi terhadap elit politik. Ketiga, sebagai antitesis dari dua pandangan awal, terdapat komponen yang berpendapat bahwa amendemen konstitusi tidak menemui momentum yang tepat untuk dilakukan, karena tidak ada urgensi yang masif dan pemerintah bersama legislatif bisa lebih fokus terhadap persoalan lain yang membutuhkan respon cepat pada level kebijakan.