Proses perumusan RKUHP harus memperhatikan prinsip legislation governance atau proses kelayakan dan tata kelola penyusunan peraturan perundangan. Prinsip legislation governance sangat penting diterapkan karena produk hukum yang dihasilkan akan mempengaruhi ruang-ruang peran dan interaksi keseluruhan komponen warga negara.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua STH Indonesia Jentera, Arief T. Surowidjojo saat menyampaikan paparan kunci pada Diskusi RKUHP Seri I bertajuk “Siapa yang Otoritatif Merumuskan RKUHP: Suatu Dialog Lintas Disiplin Ilmu” yang diselenggarakan oleh STH Indonesia Jentera pada Kamis (4/8/2022) secara daring. Hadir sebagai pemateri dalam agenda tersebut yakni Guru Besar Antropologi Hukum FH Universitas Indonesia Prof. Sulistyowati Irianto, pengajar FH Universitas Katolik Parahyangan Tristam Pascal Moeliono, dan pengajar STH Indonesia Jentera Bivitri Susanti.
Arief memberikan tiga catatan penting dalam proses pembaruan sistem hukum pidana. Pertama, terkait dengan persoalan waktu, yang mana inisiasi pembaruan sistem hukum pidana yang telah dimulai sejak 1963 dapat dipandang sebagai upaya kehati-hatian dalam melihat persoalan dan kemudian merumuskan aturan di tengah-tengah masyarakat. Namun, Arief juga menyoroti pada rentang waktu yang sangat panjang tersebut tetap diperlukan usaha yang efektif dan efisien, sehingga aturan yang dirumuskan tidak tergolong pada ungkapan “justice delayed, justice denayed”, keterlambatan memberikan keadilan adalah bentuk lain ketidakadilan. Kedua, perkembangan sistem hukum pidana meliputi ihwal yang universal seperti peran negara dan aparat penegak hukum, hak-hak dasar, dan hak konstitusional warga negara, sehingga perlu dirumuskan dalam kerangka konstitusi. Terakhir, Arief mengingatkan bahwa pembaruan hukum pidana membutuhkan pendekatan yang berbeda mengingat perkembangan zaman dan perubahan di tengah masyarakat yang sangat dinamis.
Terkait dengan rumusan RKUHP yang memuat urusan dan ekspektasi yang sangat kompleks, Prof. Sulistyowati Irianto menegaskan urgensi pelibatan lintas disiplin ilmu dalam pembahasan RKUHP melalui pendekatan antropologi hukum. Proses perumusan RKUHP yang tidak lepas dari kontroversi harus dipahami sebagai upaya masyarakat dari berbagai latar belakang untuk turut terlibat secara aktif dikarenakan dampak hukumnya yang sangat luas. Prof. Sulistyowati menambahkan, pro dan kontra publik membuka peluang penambahan perspektif bahwa produk hukum tidak hanya harus sejalan dengan rule of law namun juga dapat kompatibel dan solutif terhadap perkembangan zaman serta permasalahan masyarakat, sehingga diperlukan pelibatan lintas disiplin ilmu dalam perumusan hingga penegakannya.
Sejalan dengan Prof. Sulistyowati, Bivitri mengingatkan bahwa dalam konteks demokrasi, publik memiliki otoritas yang penuh terhadap suatu aturan, tidak terkecuali RKUHP. Bivitri menegaskan, penguasa yang etis akan merumuskan aturan menggunakan prinsip deliberatif demokrasi, dan bukan hanya prinsip deliberatif otoritas. Karenanya para perumus aturan dan pemegang kekuasaan harus menempatkan kepentingan dan aspirasi publik sebagai patron dan perhatian utama sebelum mengesahkan undang-undang. Dalam konteks penyusunan RKUHP, harus dibuka secara terang kepada publik, sehingga termuat kepentingan masyarakat secara komprehensif dan tidak hanya mengatur kepentingan golongan tertentu.
Unduh File
STH Indonesia Jentera_Siapa yang Otoritatif Merumuskan RKUHP_Tristam
STH Indonesia Jentera_Siapa yang Otoritatif Merumuskan RKUHP_Prof Sulistyowati