Wakil Ketua STH Indonesia Jentera Bidang Pengabdian Masyarakat dan Plt. Ketua Bidang Studi Hukum Pidana, Asfinawati menjadi salah satu narasumber dalam International Conference Religion and Human Rights yang diselenggarakan oleh Center for Religious and Cross-curltural Studies (CRCS) Universitas Gajah Mada pada Selasa (19/7/2022) secara daring. Dalam konferensi tersebut dibahas perihal kebebasan beragama dan berkeyakinan dari beberapa sudut pandang seperti kebebasan beragama dan berkeyakinan untuk penganut agama leluhur (indigeneous religion), moderasi beragama dan relasinya dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan pendekatan kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan mediasi guna resolusi konflik agama.
Pada agenda tersebut, Asfinawati bersama peneliti CRCS UGM, Samsul Maarif membawakan pembahasan perihal inklusifitas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dalam paparannya, Asfinawati menyebut dua kompleksitas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Pertama, terdapat limitasi dalam konstitusi terkait dengan hal tersebut yang tercermin dalam kesalahan penafsiran beberapa pasal dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik oleh Kementerian Hukum dan HAM RI dan Kementerian Luar Negeri RI. Pada Pasal 18 Ayat 3 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik disebut “freedom to manifest one’s religion” yang berarti kebebasan untuk menjalankan agama. Namun dalam terjemahan yang dipublikasikan oleh Kementerian Hukum dan HAM RI melalui Direktorat Jenderal HAM, kalimat tersebut justru diartikan kebebasan untuk menjalankan dan menentukan agama. Asfinawati menyebut bahwa penafsiran ini telah menyimpang dan kemudian memunculkan pembatasan atau limitasi.
Limitasi lain kemudian tercermin dalam beberapa pasal pada UU Cipta Kerja yang masih memuat kalimat “agama yang diakui di Indonesia”. Menurut Asfinawati, hal tersebut bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi 97/PUU-VII/2016 yang merupakan hasil judicial review dari Pasal 61 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, yang kini telah memberikan tempat yang sama bagi penganut aliran kepercayaan di luar agama-agama yang diakui sebelumnya pada ihwal administrasi kependudukan.
Di sisi yang lain, Asfinawati beranggapan bahwa apabila putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dilaksanakan dengan komprehensif maka akan menjadi peluang yang besar untuk mendorong inklusifitas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Putusan tersebut memberikan penegasan bahwa semua agama harus diperbolehkan untuk tumbuh dan diperlakukan secara setara. Terkait dengan aliran kepercayaan, Asfinawati kemudian menegaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga menyebutkan bahwa agama adalah kepercayaan itu sendiri. Asfinawati menambahkan bahwa hak asasi manusia adalah hak kodrati, termasuk hak untuk beragama dan berkeyakinan. Karena merupakan hak kodrati, maka hak beragama dan berkeyakinan tidak diberikan oleh negara, dan semua yang mengatur hal tersebut tidak konstitusional. Karenanya, agama dan keyakinan tidak dapat dilimitasi, dan negara memiliki kewajiban untuk memberikan porsi yang sama untuk dianut dan dijalankan.