Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berperan penting dalam menopang perekonomian nasional. Di banyak negara, seperti Finlandia, Prancis, Italia, Korea Selatan, dan Australia, hampir 100% pelaku usaha bergerak pada sektor kecil dan menengah dengan serapan tenaga kerja lebih dari 60%. Di Indonesia, 64,2 juta unit UMKM tercatat menyumbang 99,9% dari total pelaku usaha dengan serapan tenaga kerja sebesar 97%.
Sektor UMKM di Indonesia dianggap mampu bertahan dari situasi ekonomi yang tidak stabil. Pada krisis ekonomi 1998 misalnya, pertumbuhan sektor manufaktur dan jasa terhenti karena krisis. Seiring dengan tersendatnya pertumbuhan sektor-sektor itu, Loayza dan Rigolini (2011) menggambarkan peran UMKM dari sektor informal sebagai “jaring pengaman” karena pekerja yang terkena dampak putus hubungan kerja (PHK) dari sektor formal beralih ke sektor informal. Sayangnya, peranan UMKM yang strategis itu tidak diimbangi dengan kebijakan pelindungan UMKM dari risiko dan kerentanan yang dihadapi, sehingga kesan yang terus muncul ialah sector UMKM kurang berkembang di Indonesia.
Nurul Widyaningrum dkk. menganalisis tiga faktor yang mempengaruhi kurang berkembangnya UMKM di Indonesia: pertama, kelemahan internal terkait kapasitas manajemen; kedua, kekurangan infrastruktur yang menjembatani UMKM dengan sumber modal, pelatihan, teknologi, dan manajemen; dan ketiga, pola hubungan yang eksploitatif dalam rantai hulu-hilir UMKM. Dua faktor pertama tersebut mudah ditemukan dalam praktik, terutama terkait permasalahan manajerial dan terbatasnya infrastruktur yang menghubungkan UMKM dengan akses modal dan pengembangan. Namun, faktor ketiga mengenai pola relasi yang eksplotitatif jarang ditinjau. Tanpa memahami struktur dan rantai perdagangan, serta mengenali masing-masing kelebihan dari pelaku dalam relasi yang ada, program pengembangan UMKM dikhawatirkan akan berdampak kontraproduktif karena menguntungkan kelompok yang posisinya lebih kuat daripada menguntungkan UMKM.
Melalui Rancangan Undang Undang tentang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja), pemerintah Indonesia mengklaim akan melakukan pembenahan pengaturan tentang UMKM untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Pada 4 Juni 2020, Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama perwakilan pemerintah dan perwakilan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) telah membahas Daftar inventarisasi Masalah (DIM), termasuk yang berkaitan dengan klaster UMKM dalam RUU Cipta Kerja, khususnya mengenai kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan UMKM.
Wakil Ketua Baleg Achmad Baidowi menyatakan bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja terkait klaster UMKM dapat mendorong kemajuan UMKM di Indonesia, yakni melalui kemudahan perizinan berusaha, pembinaan dan pengembangan UMKM, dan insentif fiskal. Namun, pengaturan baru UMKM dalam RUU Cipta Kerja yang berfokus pada formalisasi UMKM melalui kemudahan perizinan berusaha tidak cukup menjawab berbagai permasalahan UMKM di Indonesia.
Unduh Dokumen:
PSHK-Kertas Advokasi Kebijakan atas Draf RUU Cipta Kerja Bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
PSHK-Advocacy Paper on the Draft of the Omnibus Bill on Job Creation (RUU Cipta Kerja) for Micro, Small and Medium Enterprises