Di tengah perkembangan zaman yang begitu pesat dan permasalahan masyarakat yang sangat beragam diperlukan instrumen hukum yang relevan guna penyelesaian perkara atau sengketa keperdataan. Indonesia sendiri masih menggunakan instrumen hukum keperdataan yang terbilang usang karena merupakan produk peninggalan kolonial Belanda. Instrumen tersebut adalah Herzien Inlandsch Reglement (HIR) yang berlaku di pulau Jawa dan Madura, Rechtreglement voor de Buitengewesten (RGB) yang berlaku di luar pulau Jawa dan Madura, dan Reglement op de Rechtsvordering (RV).
Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Bidang Pengembangan Organisasi dan Kemitraan STH Indonesia Jentera, Aria Suyudi dalam webinar Cakap Hukum Perdata, Internasional, dan Bisnis (KATALIS) bertajuk “RUU Hukum Acara Perdata di Persimpangan Jalan” yang diselenggarakan oleh Bidang Studi Hukum Bisnis Jentera. Pada forum tersebut hadir narasumber lain yakni Pengajar STH Indonesia Jentera, Fajri Nursyamsi dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Nisa Istiani, serta selaku moderator adalah Ketua Bidang Studi Hukum Bisnis STH Indonesia Jentera, Muhammad Faiz Aziz.
Guna mengakomodir berbagai perkembangan tersebut diperlukan reformasi hukum acara perdata yang dapat memberikan akses dan kemudahan bagi para pencari keadilan. Aria menambahkan, proses pembaruan hukum acara perdata di Indonesia berjalan sangat lambat dan cenderung tertinggal dengan reformasi hukum di bidang lain. Mahkamah Agung kemudian berinisiatif untuk mengisi kekosongan hukum acara perdata tersebut melalui berbagai Perma yang telah diterbitkan.
Pembaruan hukum acara perdata kemudian perlu untuk memuat tata beracara yang inklusif sehingga mudah diakses oleh berbagai pihak. Fajri menjelaskan beberapa konsep inklusivitas tersebut adalah kebijakan dan prosedur yang dapat diakses oleh setiap orang tanpa hambatan, menghadirkan kesamaan kesempatan, dan menyediakan layanan khusus untuk masyarakat dengan kebutuhan tertentu.
Pada webinar tersebut juga dibacakan Policy Statement: Reformasi Hukum Acara Perdata Harus Menyeluruh! dari perwakilan STH Indonesia Jentera yang juga merupakan Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Alviani Sabillah, Auditya Saputra, dan Johanna Poerba. Salah satu hal yang disinggung dalam policy statement tersebut adalah bagaimana pembaruan hukum acara perdata dapat mengedepankan inovasi kebijakan dan pemanfaatan teknologi. RUU Hukum Acara Perdata perlu mengedepankan proses penyelesaian perkara yang terintegrasi, yang di dalamnya memuat persidangan, pemanggilan pihak, dan penggabungan perkara secara elektronik.
Diskusi ini dapat disaksikan ulang di kanal YouTube STH Indonesia Jentera.
Download File:
STH Indonesia_Katalis RUU Hukum Acara Perdata di Persimpangan Jalan_Fajri Nursyamsi
STH Indonesia_Katalis RUU Hukum Acara Perdata di Persimpangan Jalan_Nisa Istiani
STH Indonesia_Katalis RUU Hukum Acara Perdata di Persimpangan Jalan_Aria Suyudi
STH Indonesia_Katalis RUU Hukum Acara Perdata di Persimpangan Jalan_Policy Statement
RUU Hukum Acara Perdata, hasil redrafting 6 April 2021
Penjelasan RUU Hukum Acara Perdata hasil redrafting 7 April 2021