Impunitas – secara singkat didefinisikan sebagai ‘pembebasan dari hukuman’ – mewabah di Indonesia. Artinya, pelanggaran hak asasi manusia pada umumnya dibiarkan begitu saja dan tidak berusaha dibenahi oleh negara dan institusi-institusi hukumnya. Di Indonesia, situasi ini telah ada selama beberapa dekade, dengan konsekuensi bencana bagi supremasi hukum dan masyarakat pada umumnya.
Menurut Direktur Amnesty Internationl Indonesia dan pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Usman Hamid, impunitas adalah kegagalan negara melakukan penuntutan pada pelaku pelanggaran HAM yang dianggap sebagai kejahatan serius di bawah hukum internasional. Menurutnya, impunitas juga merupakan penyangkalan terhadap keadilan, kebenaran, dan pemulihan pada korban pelanggaran HAM.
“Diadilinya pelaku kejahatan serius akan memberi pesan jelas kepada seluruh masyarakat bahwa kejahatan seperti itu tidak bisa ditoleransi. Hal ini untuk mencegah berulangnya kejahatan serupa di masa depan,” ujarnya.
Hal tersebut disampaikan dalam Seri Webinar: Memahami dan Mengurai Impunitas di Indonesia edisi pertama berjudul Memahami Impunitas di Indonesia: Suatu Pengantar yang diselenggarakan oleh STH Jentera, Amnesty International Indonesia, Kelompok Kerja Indonesia-Belanda untuk Keadilan dan Pembangunan, dan Institut Van Vollenhoven dari Leiden Law School pada Kamis (27/1/2022) secara daring.
Usman menambahkan impunitas akan terus berlangsung jika tidak ada kemauan politik dari pemerintah dan juga Presiden untuk mengakhirinya. Selain itu, terdapat juga kultur atau semacam kebiasaan yang berulang bahwa pelaku kejahatan tidak dihukum dalam pengadilan yang bermartabrat, hal tersebut menyebabkan kejahatan yang sama akan terus terjadi.
“Untuk mengakhiri impunitas, penting untuk mereformasi UU Pengadilan HAM sehingga undang-undang ini memenuhi standar internasional dan membentuk mekanisme akuntabilitas yang efektif dan independen di dalam pertanggungjawaban kejahatan”, ujarnya.
Head of Department of the Van Vollenhoven Institute for Law, Governance and Society, Leiden University, Prof. Adriaan Bedner menuturkan bahwa banyak pelaku pelanggaran HAM berat diadili karena terjadinya perubahan rezim, munculnya desakan internasional, dan terdapat opini publik yang kuat.
“Di Indonesia tidak ada perubahan rezim, yang terjadi hanya penggantian sistem hukum saja dan kelompok yang berkuasa tetap sama. Sementara desakan internasional terhadap Indonesia tidak besar dan opini publik juga masih terbelah,” ujarnya.
Prof. Adriaan menambahkan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Belanda butuh waktu lebih dari 70 tahun. Kalau di Indonesia jika dihitung sejak 1965, maka peristiwa itu terjadi sekitar 50 tahun lalu, dan diperlukan sekitar 20 tahun lagi untuk menyelesaikannya.
Diskusi yang dimoderatori oleh Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan dan Pengajar STH Indonesia Jentera, Dian Rositawati bertujuan untuk mendukung upaya berbagai pihak dalam mengatasi masalah impunitas di Indonesia. Diskusi ini dapat disaksikan ulang di kanal YouTube STH Indonesia Jentera.
Unduh File
Jentera_Usman Hamid_Memahami Impunitas di Indonesia_2022_01_27