Hari-hari ini demokrasi seperti cangkang kosong. Ia terlihat bagus dari luar, tetapi di dalamnya tak berisi. Di dalam bungkus pemilihan umum dan seremoni kelembagaan demokrasi, nilai-nilai demokrasi substantif tidak diterapkan. Pengambilan keputusan di DPR, misalnya, sangat jauh dari demokrasi substantif karena yang dihitung hanya pandangan umum fraksi yang dikontrol oleh elite partai. Individu anggota DPR hanya dibutuhkan untuk melengkapi jumlah anggota, sementara keputusan politik ada di tangan elite politik.
Di dalam DPR, nyaris tak ada pertarungan gagasan yang substantif kecuali soal moralitas, seperti dalam hal kekerasan seksual dan minuman beralkohol. Praktis usulan pemerintah akan selalu lolos karena fraksi-fraksi yang berpandangan berbeda dengan pemerintah kian sedikit.
Dengan pendekatan pembangunan pula, politik hukum sebuah negara akan terpengaruh. Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, HAM dan lingkungan diabaikan dalam berbagai undang-undang, seperti dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Dalam wilayah politik hukum, cara pandang ini disebut ”hukum dan pembangunan”.
Di dalam DPR, nyaris tak ada pertarungan gagasan yang substantif kecuali soal moralitas, seperti dalam hal kekerasan seksual dan minuman beralkohol. Praktis usulan pemerintah akan selalu lolos karena fraksi-fraksi yang berpandangan berbeda dengan pemerintah kian sedikit.
Pembentukan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum dipandang hanya sebagai alat pembangunan. Masalahnya, kata pembangunan di sini tak bermakna kesejahteraan dan keadilan ekonomi, tetapi angka pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Padahal, apabila pertumbuhan ekonomi naik, kita patut mempertanyakan: siapa yang akan menikmati pertumbuhan ekonomi ini?
Data Credit Suisse Global Wealth Databook 2019 menunjukkan 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6 persen kekayaan nasional dan 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 74,1 persen kekayaan nasional. Gambaran kesejahteraan yang timpang ini terjadi di banyak negara, tetapi selalu ada upaya mengecilkan kesenjangan ini dengan melihat aspek kehidupan warga dan lingkungan. Begitu pula pembangunan infrastruktur tidak boleh dilihat sebagai tujuan, tetapi cara menyejahterakan warga.
Pada saat politik hukum ditujukan untuk pembangunan, semua sumber daya hukum dikerahkan untuk menjaga kelangsungan pembangunan, dengan cara apa pun, termasuk dengan melanggar HAM dan prinsip hukum itu sendiri. Dalam proses pembuatan UU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), misalnya, prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan kepatutan berpolitik diabaikan dengan mengebut pembahasan.
Nyatanya, undang-undang ini memberikan keuntungan kepada bagian dari 1 persen orang terkaya tadi. Begitu pula karena dianggap mengganggu oligarki dalam memperkaya dirinya melalui korupsi politik dan sumber daya alam, Komisi Pemberantasan Korupsi dilemahkan melalui revisi undang-undang.
Sistem dan aparat penegak hukum juga difungsikan untuk tujuan pembangunan. Apabila sebuah proyek infrastruktur membutuhkan tanah, aparat penegak hukum akan dikerahkan melakukan penggusuran yang tak manusiawi. Padahal, ada alternatif pengadaan tanah yang Pancasilais bernama musyawarah, tetapi cara cepat dan murah bernama kekerasan lebih dipilih.
Apabila sebuah proyek infrastruktur membutuhkan tanah, aparat penegak hukum akan dikerahkan melakukan penggusuran yang tak manusiawi. Padahal, ada alternatif proses pengadaan tanah yang Pancasilais bernama musyawarah, tetapi cara cepat dan murah bernama kekerasan lebih dipilih.
Kritik bagi pembangunan yang mengesampingkan HAM dan lingkungan juga dibungkam dengan hukum dan penegak hukum melalui UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Bahkan, saat peran kekuasaan yudikatif diperlukan dalam konteks checks and balances, pengujian proses legislasi oleh Mahkamah Konstitusi belum pernah dikabulkan meskipun publik bisa melihat bagaimana tidak patutnya proses politik cangkang kosong itu seperti pada revisi UU KPK dan UU Minerba.
Dengan paradigma pembangunan ini, cangkang kosongnya tidak hanya demokrasi, tetapi juga prinsip negara hukum. Tak heran, yang dikedepankan adalah jargon supremasi hukum karena hukum yang bersifat memaksa (coercive) memang efektif dan efisien untuk pembangunan. Padahal, hukum yang tidak adil dan menindas tidak layak diposisikan supreme.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/11/11/atas-nama-pembangunan