Indeks Ease of Doing Business (EoDB) adalah satu dari setidaknya 159 indikator kinerja global (Global Performance Indicator/GPI) yang tumbuh pesat dua dekade terakhir. Indeks ini digunakan dalam menilai bagaimana suatu negara memberikan kemudahan berusaha bagi seluruh pelaku usaha dengan sejumlah indikator. Dimulai sejak 2001 hingga 2020, peringkat kemudahan berusaha menjadi panduan dan patokan bagi setiap investor yang hendak menanamkan modalnya pada suatu yurisdiksi. EoDB selama ini dianggap mewakili penilaian terhadap kemampuan entitas negara menjamin kemudahan akses terhadap pasar, pelindungan hak milik, dan kepastian regulasi sektor bisnis.
Pada September 2021, Bank Dunia (World Bank) menyampaikan pernyataan resmi bahwa mereka menghentikan sementara laporan indeks kemudahan berusahanya. Lembaga ini memutuskan hal tersebut karena adanya penyimpangan data Laporan Doing Business 2018 dan 2020 setelah adanya laporan secara internal pada Juni 2020.
Di Indonesia sendiri, indikator EoDB rutin muncul di berbagai dokumen perencanaan pemerintah. Selain itu, terdapat berbagai komitmen dan instruksi verbal yang dikeluarkan pejabat pemerintah untuk meningkatkan peringkat EoDB Indonesia. Bagi negara seperti Indonesia yang telanjur mengintegrasikan indeks EoDB ke sistem perencanaan dan birokrasi, hilangnya indeks ini membuat kekosongan signifikan di tingkatan perencanaan strategis dan program yang sedang berjalan di lapangan bisa seketika menjadi tak relevan.
Menurut Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas, R.M Dewo Broto Joko P., terdapat tiga poin indikator dalam program prioritas perbaikan sistem hukum pidana dan perdata yang termuat di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Tiga indikator itu adalah peringkat EoDB Indonesia untuk aspek penegakan kontrak, peringkat EoDB Indonesia untuk aspek penyelesaian kepailitan, dan peringkat EoDB Indonesia untuk aspek mendapatkan kredit.
Ke depan, pemerintah akan melakukan pemutakhiran RKP 2022 terhadap Indikator Prioritas Nasional dan Output Prioritas Nasional terkait dengan kemudahan berusaha sesuai dengan timeline pemutakhiran RKP, yakni November 2021.
“Pemerintah juga tengah mempertimbangkan alternatif instrumen pengukuran kemudahan berusaha dengan membuat survei sendiri dengan baseline sepuluh indikator eksisting dan menunggu Bank Dunia membuat survei baru dengan indikator eksisting, namun menggunakan metodologi yang berbeda,” ungkapnya.
Hal tersebut disampaikan dalam diskusi KATALIS (Cakap Hukum Perdata, Internasional, dan Bisnis) bertema “Prospek Reformasi Hukum Bisnis Indonesia Setelah Penghentian Indeks Ease of Doing Business” yang diselenggarakan secara daring oleh Bidang Studi Hukum Bisnis Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera pada Selasa (2/11/2021).
Sementara itu, Direktur Deregulasi Kementerian Investasi/BKPM, Dendy Apriandi menuturkan bahwa Kementerian Investasi/BKPM tetap akan fokus dalam memperbaiki kemudahan berusaha di Indonesia. Perbaikan tersebut meliputi penyederhanaan prosedur, percepatan waktu, integrasi dan peningkatan efisiensi, dan penguatan transparansi.
Menurutnya, sambil menunggu keputusan Bank Dunia mengenai kelanjutan EoDB, pemerintah tengah mengkaji beberapa indeks internasional yang dapat diadopsi menjadi opsi pengganti EoDB dengan mempertimbangkan beberapa kriteria pemilihan indeks, yakni relevansi indeks dan kualitas indeks.
“Dalam hasil kajian sementara kami, IMD World Competitiveness Index (IMD) yang dipadukan dengan Rule of Law Index (RoLI) memiliki relevansi terbaik untuk menggantikan EoDB,” ungkapnya.
Pengajar STH Indonesia Jentera, Aria Suyudi, menilai bahwa indeks EoDB telah berhasil memberi dorongan signifikan bagi pemerintah Indonesia untuk mendorong laju reformasi regulasi di bidang hukum bisnis dalam lima tahun terakhir. Dorongan itu terlihat dengan diperkenalkannya Online Single Submission, prosedur Gugatan Sederhana, dan dimungkinkannya penyelesaian sengketa di pengadilan melalui sistem elektronik. Indeks EoDB juga mendorong dimulainya proses reformasi hukum Jaminan Benda Bergerak dan Kepailitan.
“Ke depan, pemerintah perlu melanjutkan agenda pembaruan hukum ekonomi untuk mendorong kemudahan berusaha dengan mengamendemen UU Kepailitan, UU Jaminan Fidusia, Hukum Acara Perdata,” ujar Aria Suyudi.
Sementara itu, pengamat kemudahan berusaha, Fararatri Widyadari, menekankan pentingnya melibatkan sektor swasta atau penerima manfaat (beneficiaries) dan profesi penunjang dalam dialog reformasi hukum bisnis yang berjalan.
Ia menilai dengan dihentikannya indeks EoDB justru membuka peluang bagi Indonesia untuk melakukan pendekatan reformasi yang terkoordinasi dan responsif menuju sasaran yang jelas dan menjadikan indikator kemudahan berusaha sebagai penunjang agenda reformasi iklim usaha yang lebih luas.
“Pemerintah perlu melibatkan pelaku usaha/pemangku kepentingan dalam proses validasi data, identifikasi hambatan implementasi, serta peluang penyempurnaan dan perumusan kebijakan,” ujarnya.
Diskusi yang dimoderatori oleh Ketua Bidang Studi Hukum Bisnis STH Indonesia Jentera, Muhamad Faiz Aziz, dapat disaksikan ulang di kanal YouTube STH Indonesia Jentera.
Download File:
Jentera_Setelah berakhirnya Survey Kemudahan Berusaha Peluang dan Tantangan Reformasi Hukum Bisnis_Aria Suyudi_STH Indonesia Jentera
Jentera_Penghentian EODB dan Kelanjutan Kemudahan Berusaha di Indonesia_Dendy Apriandi_BKPM