ADALAH YY dari Bengkulu yang mengguncang perasaan kita pada 2016. Baru 14 tahun umurnya ketika ia diperkosa dan dibunuh oleh 14 laki-laki yang sebagian dikenalnya. YY berjalan pulang dari sekolahnya saat ia dicegat oleh segerombolan anak lelaki. Kepala YY dipukuli dengan kayu, kaki dan tangannya diikat, lehernya dicekik, kemudian ia diperkosa bergiliran. Para pelaku lalu membuang mayat YY ke jurang.
Pemerintah merespons dengan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang mengenai hukuman kebiri, yang kini sudah menjadi undang-undang. Namun hukuman itu terbukti tak efektif. Para pemerkosa dan pembunuh YY juga tak terkena hukuman itu. Respons pemerintah saat itu bersifat reaktif dan gagal membidik akar masalah kekerasan seksual.
Kekejaman tak terperi kepada YY, sayangnya, bukan yang terakhir. Kita mendengar banyak kasus lain, yang tak akan muat ditulis dalam kolom ini atau satu terbitan majalah Tempo sekalipun. Juni 2020, terungkap kasus pencabulan yang dilakukan oleh seorang pengurus gereja di Depok, Jawa Barat, terhadap sejumlah anak laki-laki. Lantas, pada awal 2021, ada KO, anak perempuan berusia 7 tahun, yang meninggal karena berulang kali diperkosa kakek tirinya di rumahnya di Jakarta Utara.
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2020 sebanyak 299.911. Jumlah ini bukan sekadar angka, yang biasanya difaktorkan dengan total populasi untuk kepentingan statistik. Sebab, tak seorang pun seharusnya menjadi korban kekerasan seksual. Angka ini harus dibaca dengan latar belakang penderitaan YY, muramnya hidup anak-anak lelaki korban oknum pengurus gereja di Depok, dan rasa sakit yang mendera KO sebelum kematiannya. Betapa besar masalah yang dihadapi bangsa ini!
Relasi Kuasa
Akar kekerasan seksual bukan moralitas (yang kerap dimaknai oleh kelompok dominan) dan penghukuman. Ada masalah yang lebih mendasar: relasi kuasa, yaitu pandangan mengenai hubungan antara yang dominan dan yang lemah. Masalahnya bukan pada korban, melainkan pada pelaku yang melihat korban tak berdaya, sehingga dapat dijadikan obyek pemuas nafsu seks.
Maka tak mengherankan bila korban kekerasan seksual bukan hanya perempuan, tapi juga anak-anak dan laki-laki yang berada dalam situasi kalah-kuasa. Namun, dalam masyarakat yang patriarkis, perempuan berposisi rentan karena dianggap tak berdaya. Kerentanan bahkan makin tinggi bagi penyandang disabilitas.
Kekerasan seksual akan terus ada jika tak ada upaya serius negara untuk mengatasinya. Salah satu caranya: membuat undang-undang mengenai kekerasan seksual. Undang-undang adalah bentuk hukum dari kebijakan, yaitu upaya terpadu, untuk menghapus kekerasan seksual. Jadi kita tidak hanya berbicara soal sanksi yang menakutkan atau bahkan “tim pemburu pelaku kekerasan seksual”. Kalau hanya penghukuman yang dipikirkan, niscaya hukum akan gagal.
Upaya terpadu harus mencakup pencegahan. Namun mencegah dengan menempatkan perempuan sebagai obyek perlindungan tak lagi layak digunakan. Pandangan ini akan membuat upaya pencegahan kekerasan seksual dimaknai semata dengan menjauhkan perempuan dan kelompok rentan lain dari wilayah publik dan menutupi tubuh serta apa pun yang dianggap pemicu nafsu seksual. Padahal masalahnya bukan pada korban, melainkan pada pelaku.
Pencegahan kekerasan seksual berarti membongkar cara berpikir mengenai relasi kuasa dan seksualitas. Mediumnya adalah pendidikan, yang tak hanya berarti proses belajar di ruang kelas, tapi juga praktik perilaku sehari-hari. Sekat-sekat berdasarkan peran gender harus dibongkar dan dikembalikan pada kemanusiaan yang setara.
Penanganan Korban
Yang penting tapi sering terlupakan adalah kelanjutan hidup korban. Kekerasan seksual berdampak panjang karena ada trauma mendalam yang dialami korban. Ironisnya, korban perempuan sering kali justru disalahkan oleh orang-orang di sekitarnya. Anggapan tentang kesalahan perempuan memang kerap ada dalam masyarakat patriarkis. Sebab, pada perempuan disematkan keinginan masyarakat patriarkis tentang adanya kaum yang takluk, melayani, dan dikuasai. Sedangkan kekerasan seksual pada kelompok LGBTIQ (lesbian, gay, biseksual, transgender, Intersex queer) ) diabaikan karena kelompok ini dianggap patut mendapat hukuman sebagai akibat melanggar kodrat.
Selama ini, kekerasan seksual dianggap tak berdampak serius secara psikologis. Akibatnya, sering kali tidak ada pendampingan psikologis pada korban. Proses penegakan hukum juga sering membawa pandangan patriarkis, sehingga pertanyaan ataupun perlakuan aparat penegak hukum kerap menempatkan korban justru sebagai orang yang bersalah. Misalnya dengan mempertanyakan pakaian apa yang dikenakannya atau mengapa ia tak melawan ketika diperkosa.
Mengapa Undang-Undang?
Kita tak bisa membicarakan kekerasan seksual seperti membicarakan kasus penipuan atau pencurian. Penyebab kekerasan seksual bukanlah adanya peluang atau keserakahan, melainkan cara berpikir keliru, yang membutuhkan upaya sistemik untuk membongkarnya. Penanganan perkara kekerasan seksual juga memerlukan kekhususan karena harus berfokus pada korban.
Maka menghapus kekerasan seksual membutuhkan intervensi negara melalui undang-undang sebagai bentuk formalnya. Adanya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual akan membawa perubahan setidaknya melalui tiga hal.
Pertama, undang-undang ini akan memberikan pengakuan adanya kekerasan seksual sebagai masalah bersama yang pemecahannya akan difasilitasi oleh negara. Jangan hanya dilihat sebagai moda memberi sanksi, undang-undang adalah komitmen negara untuk menyelesaikan masalah. Karena itu, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tak hanya berisi aturan pidana, tapi juga pencegahan, penanganan korban, dan perlakuan penegak hukum terhadap korban.
Kedua, ada teori yang menempatkan undang-undang sebagai pendorong perubahan sosial. Perilaku berulang yang terus-menerus dilakukan oleh masyarakat, yang sering kali secara longgar dinamai budaya, bisa diubah melalui undang-undang yang mengatur perilaku (Seidman, Seidman, dan Abeyeskere, 2002). Perubahan ini dilakukan dengan memaksa masyarakat melakukan perilaku berulang baru karena ada kekuatan memaksa (coercive) undang-undang, melalui ancaman sanksi ataupun insentif.
Ketiga, adanya undang-undang akan memberikan panduan yang lebih baik dan mutakhir bagi penegak hukum mengenai kekerasan seksual. Saat ini, pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai pemerkosaan, misalnya, sering tak bisa diterapkan pada kasus tertentu, karena pemerkosaan menurut KUHP peninggalan Belanda itu mensyaratkan penetrasi alat kelamin. Padahal temuan dari lapangan menunjukkan berbagai bentuk lain kekerasan fisik terhadap organ seksual seseorang, perbudakan seksual, dan pemaksaan aborsi, yang harus bisa dijangkau hukum yang menghapus kekerasan seksual.
Panduan hukum dibutuhkan tak hanya dalam penegakan hukum pidana, tapi juga untuk mengakses sumber daya negara. Misalnya untuk memastikan adanya pendamping psikologis korban atau adanya unit khusus perempuan dan anak di kepolisian, yang membutuhkan dasar hukum agar bisa diselenggarakan oleh instansi terkait.
Tembok Tebal Kepentingan
Sayangnya, proses politik sering kali tak sejalan dengan kenyataan di masyarakat. Tujuh tahun berlalu sejak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual digagas oleh Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan Bagi Perempuan Korban Kekerasan (FPL) pada 2014, tapi nasibnya masih terkatung-katung. Perlu dicatat, materi muatan RUU ini merupakan abstraksi dari temuan dalam kasus nyata, yang didata oleh Komnas Perempuan dan FPL.
Meski akhirnya kembali masuk ke Program Legislasi Nasional Prioritas tahun ini, RUU ini masih saja ditolak dengan dalih tuntutan konstituensi partai berbasis agama. Ada tuduhan soal agenda kelompok feminis untuk menggerus nilai-nilai agama soal perempuan serta pengakuan terhadap LGBTIQ. Padahal RUU ini tidak menyoal nilai-nilai agama, tapi interpretasi keliru yang mengurangi hak-hak perempuan seakan-akan ia bukan manusia seutuhnya. RUU ini juga mengenali adanya kekerasan seksual sesama jenis, tapi bukan memberikan legalitas kepada LGBTIQ. Korban, siapa pun dia, atas dasar kemanusiaan harus dilindungi hukum dan dipulihkan.
Dalam acara Komnas Perempuan pada Maret 2020, Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahe’i menyampaikan amanah kesetujuan dua organisasi kemasyarakatan Islam terbesar negara ini, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, mengenai adanya elemen-elemen kunci yang harus ada dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang “dapat mengubah peradaban”.
Memang “mengubah peradaban” adalah kata-kata kuncinya. Peradaban terbentuk karena dobrakan pemikiran untuk kemanusiaan yang lebih baik. Perkembangan pengetahuan dan abstraksi pemikiran kita sudah digunakan untuk merumuskan sebuah RUU yang bisa mengantarkan kita pada ujung jalan praktik kekerasan seksual ini. Jangan sampai tugas sejarah untuk mengubah peradaban kita menjadi lebih baik diabaikan oleh segelintir politikus dan kelompok yang berpikiran sempit.
Sumber: https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/163023/kolom-bivitri-susanti-kekerasan-seksual-dan-perlunya-upaya-serius-negara-menghapusnya-melalui-undang-undang