REKOR pembahasan rancangan undang-undang baru saja dipecahkan pada 1 September lalu. Hanya dalam tujuh hari revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dibahas lalu disahkan. Dalam undang-undang yang baru, hakim-hakim yang sekarang menjabat tetap akan bertahan sampai usia 70 tahun, sepuluh tahun lebih lama dari ketentuan sebelumnya. MK tidak akan mendapatkan darah segar dari 55 hakim baru karena batas usia minimum dinaikan dari 47 tahun menjadi tahun
Revisi Undang-Undang MK bukan undang-undang kilat yang pertama. Amendemen undang-undang ini mengalahkan rekor sebelumnya yang terjadi pada September 2019. Ketika itu, Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah membahas revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam 14 hari hingga pengesahan. Serupa dengan revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, revisi terhadap Undang-Undang KPK adalah perombakan kelembagaan yang luar biasa. Ibarat bangunan, yang dilakukan sebenarnya bukan renovasi, melainkan perobohan.
Bukan kebetulan, kedua institusi ini merupakan bagian dari perubahan besar pasca-1998. Ditandai oleh amendemen Undang-Undang Dasar 1945, demokratisasi dimulai dengan pembatasan kekuasaan melalui payung hukum tentang hak asasi hingga perombakan lembaga agar ada pengawas dan penyeimbang kekuasaan. Untuk tujuan itulah UUD 1945 yang diamendemen meniscayakan adanya Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung yang dikuatkan, Komisi Yudisial, dan Dewan Perwakilan Daerah; pemisahan Tentara Nasional Indonesia-Kepolisian RI; bank sentral yang mandiri; serta konsep desentralisasi.
Pada awal reformasi, semangat untuk memperkuat mekanisme checks and balances amat menggebu-gebu. KPK lahir, juga lembaga-lembaga pengawas lain, seperti Komisi Ombudsman Nasional yang kemudian menjadi Ombudsman RI, Komisi Kepolisian, dan Komisi Kejaksaan. Bersamaan dengan kelahiran lembaga-lembaga itu, perombakan lembaga-lembaga terus dilakukan. Dari konsep reformasi birokrasi bagi administrasi pemerintahan hingga reformasi institusi seperti Mahkamah Agung.
Pembalikan Demokrasi
PROSES kilat revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menggambarkan betapa proses merawat perubahan hasil reformasi 1998 sekarang sedang menghadapi tantangan besar. Ironisnya, tantangan itu justru datang dari para aktor demokrasi tersebut sendiri.
Nancy Bermeo (2016) mencatat adanya fenomena global tentang pembalikan demokrasi (democratic backsliding). Sementara dulu pembajakan pemerintahan biasanya dilakukan melalui kudeta, metode yang lebih kekinian adalah dengan menggunakan institusi-institusi demokrasi itu sendiri. Metode ini jauh lebih berbahaya karena membuat kita kerap berilusi bahwa kondisi negara baik-baik saja, bahwa orang-orang baik sedang memimpin negara. Padahal, di bawah permukaan, pilar-pilar demokrasi tengah digerogoti hingga akhirnya perlahan roboh.
Pelemahan lembaga seperti KPK merupakan bentuk “perluasan kewenangan” yang dimaksud Bermeo. Memang tidak ada institusi yang diambil alih secara paksa, tapi mandatnya dimutilasi melalui undang-undang atau legitimasinya diturunkan dengan masuknya orang-orang yang akan membuat institusi itu tak berdaya.
Menggunakan pemilihan umum secara strategis untuk kepentingan politik tertentu adalah metode lain. Caranya melalui desain pemilihan yang hanya menguntungkan status quo dan tidak mudah dimasuki pemain politik baru. Dengan demikian, jejaring politik aktor antidemokrasi di lembaga legislatif dan eksekutif akan menguat dan makin mencengkeram.
Di Indonesia, indikasi ini terlihat dari adanya ambang batas pencalonan presiden yang membuat pilihan pemilih dibatasi oleh partai politik besar. Begitu pula aturan main pencalonan dan pemilihan yang kerap membuat pemilih kepincut oleh orang-orang populer atau yang bermodal besar tapi minim pengalaman dan integritas. Model ini sama sekali tidak mendorong partai politik untuk melakukan pendidikan politik dan kaderisasi, malah menguatkan kontrol petinggi partai.
Di atas kertas, upaya-upaya yang seolah-olah demokratis tapi melanggar prinsip negara hukum ini seharusnya bisa dicegat melalui lembaga peradilan. Sayangnya, fenomena pembajakan juga berlangsung dalam bangunan negara hukum. Prinsip negara hukum yang penting bagi perlindungan hak asasi dan pembatasan kekuasaan mulai digerogoti karena institusi-institusinya dimanfaatkan oleh para pelaku politik untuk memperkuat kekuasaan mereka dalam batas-batas konstitusi (Przeworski, 2014).
Seharusnya lembaga yudikatif berdiri di atas prinsip-prinsip keadilan. Namun, pada praktiknya, prinsip-prinsip ini diterapkan oleh sekelompok orang yang dipilih secara politik. Sembilan hakim Mahkamah Konstitusi, yang terdiri atas masing-masing tiga orang yang diutus DPR, presiden, dan Mahkamah Agung, bisa jadi akan membawa agenda masing-masing. Karena itu, tanpa sistem pengawasan yang baik, kekuasaan besar MK bisa terkooptasi. Berbagai hasil legislasi yang merupakan produk turunan dari upaya pembalikan demokrasi tadi bisa melenggang begitu saja.
Pengukuhan berbagai legislasi “produk turunan” dari pembalikan demokrasi itulah yang merupakan tujuan sebenarnya dari kooptasi dan pengambilalihan lembaga-lembaga hasil reformasi. Jika itu terjadi, sempurnalah pembajakan lembaga-lembaga demokrasi untuk melahirkan kebijakan yang hanya menguntungkan kaum pembajak.
Siapa sebenarnya para pembajak ini? Peta keterpautan aktor-aktor yang ada di pemerintahan dan lembaga legislatif dengan kelompok-kelompok yang ingin mengambil keuntungan finansial sebenarnya sudah terpetakan dengan jelas. Selain keterpautan aktor, keberadaan mereka bisa diraba dari produk turunannya. Misalnya revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), yang juga dibahas kilat dan tanpa partisipasi publik. Juga Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja alias omnibus law.
Pengujian oleh Mahkamah Konstitusi sebenarnya merupakan cara konstitusional untuk menentang undang-undang yang dianggap hanya menguntungkan segelintir rakyat. Sedangkan produk hukum lain di bawah undang-undang, seperti peraturan daerah yang menguntungkan kelompok mayoritas dan perizinan eksploitasi sumber daya alam yang merusak, dapat diuji di Mahkamah Agung. Karena itulah, jika lembaga-lembaga peradilan tempat publik mencari keadilan dilemahkan, lonceng kematian demokrasi dan negara hukum pasti berdentang.
Partai Politik di Luar Radar
REFLEKSI lain dari upaya pembalikan demokrasi ini adalah pentingnya kita menyoroti lebih dalam peta aktor politik di Indonesia. Semula, memang ada anggapan bahwa perubahan sistem politik pada gilirannya akan memaksa demokratisasi. Partai politik dianggap sudah mengalami reformasi dengan dibukanya kebebasan berpartai yang sebelumnya dikungkung Orde Baru.
Maka selama 22 tahun kita merasa aman dengan partai politik dan sibuk dengan usaha melahirkan atau mengubah lembaga-lembaga negara serta berbagai hal mengenai demokrasi prosedural. Partai politik dibiarkan sebagaimana adanya, tanpa perubahan berarti dalam hal aturan main demokrasi internal mereka. Sebagai contoh, sampai kini tak ada aturan tentang cara-cara pemilihan ketua umum partai politik yang bisa memastikan ada regenerasi pemimpin serta tidak ada mekanisme pengajuan kader untuk jabatan politik yang didasarkan pada kemampuan dan pengalaman politik.
Padahal, tanpa demokrasi internal partai, kontrol kekuasaan jatuh ke tangan elite partai, yang berkelindan dengan kelompok yang ingin mengambil dan merawat keuntungan ekonominya. Kontrol ini terus terpelihara karena tidak ada demokrasi di dalam partai yang memungkinkan masuknya aktor-aktor politik baru. Bahkan partai baru pun dipimpin oleh aktor lama.
Reformasi pasca-1998 juga terlalu berfokus pada perubahan kelembagaan tanpa membarenginya dengan pendidikan politik warga. Masyarakat yang pada masa Orde Baru dijauhkan dari politik belum terbiasa memilih berdasarkan rekam jejak dan visi. Akhirnya, pembagian kaus dan amplop serta popularitas pesohor menjadi ukuran keterpilihan dalam pemilu.
Luputnya reformasi partai politik ini menyebabkan ruang-ruang politik dicampuri oleh oligarki—kelompok yang ingin mengambil dan merawat keuntungan ekonomi dengan mengkooptasi negara. Pengaruhnya terlihat makin kasatmata dalam proses pelemahan KPK, lolosnya revisi Undang-Undang Minerba, dan pembahasan RUU Cipta Kerja. Bahkan kini mereka menjinakkan lembaga yudikatif dengan revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Penjara Legislasi dan Masyarakat Sipil
REFORMASI partai politik adalah pilar untuk menahan bangunan demokrasi yang hampir roboh. Namun repotnya perubahan hanya bisa dilakukan melalui revisi undang-undang. Di sisi lain, pembuat undang-undang adalah aktor yang akan diubah itu sendiri. Walhasil, kita seperti dipenjara oleh legislasi dan legislator.
Karena itu, barangkali cara bertahan yang paling mungkin adalah dengan memperkuat barisan perlawanan masyarakat sipil. Masyarakat sipil di sini bukan hanya lembaga swadaya masyarakat, tapi bisa dimaknai longgar, yakni semua pihak yang tidak berada dalam lingkaran kekuasaan. Di dalamnya ada akademikus, jurnalis, dan individu yang percaya dan ingin merawat demokrasi.
Namun menumpukan perlawanan pada gerakan masyarakat sipil juga mengandung masalah tersendiri. Salah satunya pengotakan gerakan masyarakat sipil pada isu dan konstituensi. Pengotakan ini sebenarnya alamiah karena definisi masyarakat sipil sudah begitu longgar serta banyaknya isu sosial, politik, dan ekonomi yang harus diawasi dan disikapi.
Tantangan besarnya ada pada konsolidasi masyarakat sipil untuk menyasar akar masalah, yakni perombakan aktor politik. Hanya dengan cara itu penjara legislasi yang membelenggu demokrasi kita bisa dibongkar. Bila luput melihat sasaran mendasar ini, gerakan masyarakat sipil hanya akan berkutat pada isu-isu di permukaan, yakni berbagai produk legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang sebenarnya ada di hilir dari fenomena pembalikan demokrasi dan masa panen oligarki.
Sumber : https://majalah.tempo.co/read/kolom/161415/kolom-bivitri-susanti-robohnya-demokrasi-kami