Sulit membangun optimisme publik terhadap KPK saat ini, terutama bila melihat perkembangan situasi beberapa waktu belakangan. Namun publik jangan buru-buru putus harapan, karena setiap yang meranggas masih punya dua kemungkinan: rontok mati selamanya, atau bangkit dan bersemi kembali.
Lagipula, harapan haruslah diciptakan dan diupayakan. Mengingat sejarah lembaga pemberantasan korupsi dari masa ke masa, serangan balik dan upaya pelemahan adalah suatu keniscayaan yang akan selalu harus dihadapi.
Sengkarut masalah izin penggeledahan baru-baru ini, di mana terjadi saling lempar masalah antara Komisioner KPK dan Dewan Pengawasnya, nampaknya baru merupakan percikan awal dari sederetan potensi masalah yang bisa timbul akibat disahkannya perubahan kedua UU KPK yang kontroversial ini (UU No.19 Tahun 2019).
Kesan berantakan dan terburu-buru memang kental terasa ketika melihat proses pembentukan undang-undang perubahan UU KPK ini. Hanya dalam waktu 12 hari (menjadi RUU usul inisiatif DPR pada 5 September 2019, disahkan di Rapat Paripurna DPR pada 17 September 2019), Presiden dan DPR membahas dan menyetujui bersama perubahan undang-undang yang mengatur jantung pergerakan lembaga pemberantas korupsi di Indonesia ini. Perubahan UU KPK ini mengandung penuh masalah, mulai dari yang besar dan mendasar seperti persoalan independensi lembaga KPK, sampai ke “soal kecil tapi berdampak besar” tentang salah ketik batasan usia minimal pimpinan KPK.
KPK sendiri telah mengidentifikasi 26 poin yang dianggap berisiko melemahkan KPK. Pimpinan KPK bahkan sempat menyatakan kekecewaannya karena merasa tidak dilibatkan dalam penyusunan perubahan UU KPK ini, dan menyatakan menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK kepada Presiden Jokowi.
Dari segi proses dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, jelas bahwa perubahan UU KPK ini bermasalah. Sempat ada sedikit harapan bahwa Presiden Jokowi tidak akan ikut serta dalam genderang pembahasan RUU usul inisiatif DPR ini. Namun kenyataannya, Surat Presiden (Surpres) tetap dikeluarkan dalam waktu singkat (11 September 2019), sehingga pembahasan dan persetujuan bersama atas undang-undang ini pun berjalan lancar bahkan kilat.
Presiden Jokowi memang secara formal tidak menandatangani pengesahan undang-undang ini. Dalam naskah undang-undang itu, hanya ada tandatangan Tjahjo Kumolo yang mengundangkannya selaku pelaksana tugas Menteri Hukum dan HAM saat itu. Entah sinyal apa yang hendak disampaikan Presiden Jokowi yang sebelumnya bergegas mengeluarkan Surpres, tapi kemudian malah menolak tandatangan di saat pengesahan.
Tidak ditandatangani oleh Presiden itu tak berdampak apapun terhadap keberlakuan undang-undang yang marak ditolak publik ini. Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 jelas menyatakan bahwa kalaupun Presiden tidak mensahkan undang-undang yang telah disetujui bersama, maka dalam waktu 30 hari sejak disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah dan wajib diundangkan. Pada 17 Oktober 2019, perubahan kedua UU KPK diundangkan dan mulai berlaku.
Publik kemudian mendesak Presiden Jokowi untuk menerbitkan Perppu untuk menganulir undang-undang ini. Kecuali dengan wacana yang kabur dan maju-mundur, sampai saat ini belum ada respon konkret dari Presiden Jokowi untuk menanggapi dan memenuhi desakan tersebut.
Cicak vs Buaya 4.0
Serangan balik versi 4.0 kepada KPK yang dimulai tahun 2019 lalu memang dahsyat dan efektif sekali. Diawali dengan gelombang stigma isu “taliban” ataupun “radikal”, KPK dan pendukungnya lumayan repot dalam menghadapi rentetan serangan wacana ini. Para pendengung (buzzer) yang anti terhadap KPK juga efektif bekerja meramaikan dan menimbulkan ketidakpercayaan pada KPK. Sebagian masyarakat pun terbeli dengan berbagai pelintiran isu ini, sehingga memilih diam saja atau bahkan mendukung proses “penjinakan” KPK di berbagai lini.
Fitnah dengan stigma “taliban” ini laku dijual kepada masyarakat umum yang resah dan cemas dengan fenomena intoleransi yang memang marak terjadi di Indonesia. Fakta bahwa permasalahan ini terjadi di mana-mana, sama sekali tidak meredam upaya menyudutkan KPK dengan isu ini. Ironisnya, stigma ini sempat seolah dibenarkan dan diperkuat oleh segelintir orang internal yang bekerja di KPK sendiri, yang justru mengundang para pendakwah yang sering dianggap menyebarkan pesan intoleran ke KPK. Ibarat kayu yang sudah terbakar api, malah dibumbui percikan bensin yang jauh dari perlu.
Singkat cerita, dalam pertarungan Cicak vs Buaya 4.0 ini, KPK seperti petinju yang naik ring setelah minum obat pencahar: babak belur, luar dalam.
Semua permasalahan ini hadir nyaris bersamaan. Mulai dari pemilihan komisioner yang dianggap bermasalah, sampai lahirnya undang-undang yang melemahkan. Terlebih lagi, situasi berkurangnya dukungan publik seperti ini belum pernah dihadapi KPK sebelumnya.
Pada Cicak vs Buaya 1 (2009), publik secara masif mendukung komisioner KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah yang dikriminalisasi. Pada Cicak vs Buaya 2 (2012), masyarakat beramai-ramai datang ke gedung KPK dan membuat jalinan rantai manusia untuk menolak penangkapan Penyidik KPK Novel Baswedan pasca ia membongkar kasus korupsi proyek simulator. Pada Cicak vs Buaya 3 (2015), masih marak dukungan publik untuk komisioner KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang juga dikriminalisasi.
KPK yang dalam pertarungan Cicak vs Buaya versi-versi sebelumnya banyak mendapat dukungan publik yang solid, kini nyaris saja dibiarkan luka parah tercabik serangan berbungkus politik identitas dan partisan. Bahkan ketika Penyidik KPK Novel Baswedan rusak matanya karena disiram air keraspun, masih ada sebagian masyarakat yang bukan hanya tidak berempati, tapi bahkan juga aktif menyerang Novel sebagai korban, dan ikut menyebarkan ketidakpercayaan publik atas kasus teror keji tersebut.
Untungnya, masih ada gerakan #REFORMASIDIKORUPSI yang memberikan harapan bahwa masih besar dukungan publik dan masih banyak masyarakat yang tak akan tinggal diam melihat KPK sebagai buah hasil reformasi ini dilemahkan. Mahasiwa, pelajar, aktivis, seniman, akademisi, pegawai KPK, dan berbagai elemen masyarakat berbondong-bondong bergerak protes dan menghadang upaya pelemahan KPK ini.
Gerakan mahasiswa dan pelajar yang berdemonstrasi di gedung DPR di Jakarta, aksi “Gejayan Memanggil” di Jogjakarta, dan aksi mahasiswa di berbagai daerah, membuka mata publik bahwa desakan untuk menyelamatkan KPK masihlah kuat. Sayangnya aksi ini masih diwarnai dengan tindakan represif dari aparat. Komnas HAM mencatat bahwa ada 1489 orang ditangkap, 15 orang jurnalis menjadi korban kekerasan, dan ada 5 orang meninggal dunia. Semua ini harus jadi duka bersama, dan perlu dituntaskan pengusutannya.
Patah Tumbuh, atau Hilang Berganti?
Sejarah lembaga anti-korupsi di Indonesia menunjukkan pola berulang patah-tumbuh hilang-berganti. Mulai dari lembaga antikorupsi di era Orde Lama seperti Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan), atau Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran), sampai dengan lembaga di era Reformasi seperti Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK), semua redup dalam waktu yang relatif singkat.
Sampai berusia enam belas tahun kini, KPK merupakan lembaga anti-korupsi berusia terpanjang dalam sejarah republik ini. Salah satu resep rahasia umur panjang KPK adalah: dukungan publik.
Harapan kepada KPK terlalu mahal dan berharga untuk ditinggalkan begitu saja. Perlu juga diingat, bahwa ada lebih dari seribu orang bekerja di KPK untuk pemberantasan korupsi di negeri ini, dan sebagian besar dari mereka masih ingin melihat KPK yang kuat dan bisa bekerja efektif. Dari sisi internal, mereka lah harapan publik untuk jadi garda terdepan melawan serangan ke KPK yang terlanjur merangsek ke dalam.
Justru di hari-hari ke depan inilah, dukungan publik kepada KPK semakin dibutuhkan. Dukungan publik yang dibutuhkan saat ini adalah berupa pengawasan dan desakan untuk perubahan. Publik perlu kritis ketika melihat apapun kejanggalan yang terjadi dalam kerja-kerja KPK ke depan. Publik perlu mempertanyakan fakta sebenarnya, bila terlihat ada usaha mengaburkannya, dan perlu menolak keras bila ada upaya menormalkan ketidakwajaran di KPK.
Publik perlu terus mendesakan perubahan untuk menyelamatkan KPK. Permohonan pengujian atas perubahan UU KPK ke Mahkamah Konstitusi telah diajukan oleh sederetan tokoh antikorupsi. Publik perlu mendukung upaya ini dan berusaha bersama agar Mahkamah Konstitusi bisa mengeluarkan keputusan yang jernih dan meluruskan kekacauan yang ditimbulkan oleh perubahan UU KPK yang baru ini. Betapapun terlalu sering mengecewakan, mendesak Presiden untuk mengeluarkan Perppu KPK juga tak ada salahnya untuk tetap dilakukan.
Selain itu, ada banyak jejak masalah yang ditinggalkan oleh proses pembentukan undang-undang yang problematik ini. Dari sudut pandang litigasi strategis (strategic litigation) yang berupaya menggunakan jalur hukum untuk perubahan sistem yang lebih luas, ada banyak peluang yang bisa diambil dari jejak-jejak masalah ini. Publik bersama berbagai organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang hukum, perlu merumuskan langkah langkah litigasi strategis ini. Kolaborasi dari berbagai elemen masyarakat jelas perlu terus dilakukan, termasuk misalnya untuk mengawal penyusunan berbagai peraturan turunan dari UU KPK.
Intinya, segala upaya untuk menumbuhkan yang patah, perlu dilakukan. Kalaupun pada akhirnya nanti KPK yang kuat terpaksa harus hilang, kita perlu pastikan ada usaha publik untuk menggantikannya dengan harapan yang baru lagi.
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e25b73584f8b/jangan-biarkan-kpk-meranggas-oleh–eryanto-nugroho