Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, M. Nur Sholikin, menjadi narasumber dalam program Kelas.mu Belajar Live! yang diselenggarakan oleh Sekolah.mu pada Jum’at (17/4/2020) yang disiarkan secara langsung melalui platform Youtube. Dalam kelas tersebut, Sholikin membawakan materi perihal “Isu Ketenagakerjaan Di Tengah Pandemi Covid-19”.
Seperti diketahui bersama, pandemi Covid-19 kemudian banyak membawa perubahan termasuk pada sektor ketenagakerjaan. Adanya pola sosialisasi baru berupa physical distancing membuat banyak instansi kemudian menerapkan sistem bekerja dari rumah. Tidak hanya itu, banyak instansi yang lain kemudian menghadapi kendala dalam pengelolaan pekerja oleh karena bisnis yang tidak berjalan seperti biasa sebagai dampak pandemi.
Sholikin membuka materi dengan menjelaskan bagaimana hubungan dalam pola ketenagakerjaan. Menurutnya, hubungan kerja dibentuk oleh adanya hubungan hukum yang menyangkut pemberi kerja dan penerima kerja. Dengan adanya hubungan hukum tersebut, maka terdapat konsekuensi di antara keduanya yakni adanya hak dan kewajiba. Pemberi kerja memiliki hak untuk mepekerjakan para pekerja, dan mempunya kewajiban untuk membayar kompensasi berupa upah dan lainnya. Penerima kerja memiliki hak yakni kompensasi berupa upah dan lainnya, juga memiliki kewajiban untuk bekerja sesuai koridor yang telah ditetapkan pemberi kerja. Sholikin di sini kemudian juga menyinggung peran pemerintah dalam mekanisme tersebut yakni sebagai regulator dan mediator apabila terjadi konflik. Pemerintah memiliki kepentingan dalam sektor ketenagakerjaan ini karena fungsinya sebagai penunjang pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam sektor ketenagakerjaan, terdapat beberapa proses dalam pengelolaan tenaga kerja. Tahapan tersebut meliputi rekrutmen, pengembangan karyawan, pemberian kompensasi, pembinaan karyawan hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). PHK dalam hal ini adalah selesainya hubungan hukum antara pemberi dan penerima kerja, sekaligus berakhirnya konsekuensi di atara keduanya. Terdapat PHK yang sifatnya sukarela, namun tidak jarang pemberi kerja kemudian melakukan PHK bersifat tidak sukarela seperti perampingan karyawan hingga pemecatan.
Dalam situasi pandemi ini, sektor ketenagakerjaan juga menjadi sorotan oleh karena relasi antara pemberi dan penerima kerja. Sholikin, dengan mengutip data International Labour Organization (ILO), menjelaskan bahwa per April 2020 pandemi memiliki dampak terhadap 2,7 Miliar atau setara dengan 81% pekerja secara global. Dampak tersebut dapat berupa pengurangan jam kerja, pekerja yang dirumahkan hingga PHK. ILO kemudian juga memprediksi bahwa pandemi Covid-19 juga akan berakibat pada adanya gelombang PHK pada hampir 25 Juta pekerja. Di Indonesia sendiri, data Kementrian Tenaga Kerja RI per April 2020 menunjukkan terdapat 1.080.765 pekerja dirumahkan dan 160.067 pekerja terkena PHK. Di sektor informal, sebanyak 265.881 pekerja juga terkena dampak pandemi.
Sholikin kemudian menjelaskan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah PHK sesuai dengan aturan hukum yang ada. Upaya pencegahan PHK ini merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemberi kerja, serikat kerja hingga pekerja, dan merupakan amanat Pasal 151 UU Ketenagakerjaan. Dalam Surat Edaran Kementerian Tenaga Kerja RI yang diterbitkan pada 2004, terdapat beberapa upaya untuk mencegah PHK secara masal. Upaya-upaya tersebut adalah mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, mengurangi shift, mengurangi jam kerja, mengurangi hari kerja, meliburkan atau merumahkan pekerja secara bergilir untuk sementara waktu, tidak memperpanjang kontrak bagi pekerja yang telah habis masa kontraknya dan memberikan pensiun bagi yang telah memenuhi syarat. Dalam hal ini, edaran tersebut bersifat alternatif sehingga pemberi kerja dapat memilih upaya yang realistis sesuai situasi dan kondisi.