Senin (23/7), bertempat di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, diselenggarakan Diskusi Konstitusi dan Legisprudensi dengan tema “Polemik Masa Jabatan Wakil Presiden”. Diskusi tersebut diselenggarakan oleh Koalisi Selamatkan Konstitusi dan Demokrasi (KSKD) yang melibatkan beberapa akademisi, yaiut Bivitri Susanti (STH Indonesia Jentera), Bayu Dwi Anggono (PUSKAPSI FH Universitas Jember), Feri Amsari (PUSaKO FH Universitas Andalas), Titi Anggraini (Perludem), Oce Madril (Pukat UGM), Jimmy Usfunan (Universitas Udayana), dan Agus Riewanto (Pusat Kajian Hukum Demokrasi FH Universitas Sebelas Maret).
Diskusi tersebut digagas sebagai respon terhadap pengajuan diri Jusuf Kalla sebagai pihak terkait dalam perkara pengujian Undang-Undang No. 6/PUU-XVI/2018 di Mahkamah Konstitusi dan uji materiil terhadap Pasal 169 huruf n UU Pemilu oleh Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Koalisi Selamatkan Konstitusi dan Demokrasi (KSKD) berpandangan bahwa Pasal 169 huruf n UU Pemilu hanya pemindahan dari ketentuan Pasal 7 UUD Negara Republik Indonesia 1945. Karenanya, permohanan baik pemohon maupun pihak terkait adalah mengubah ketentuan Pasal 7 UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang sebenarnya bukan wewenang Mahkamah Konstitusi.
Dalam pasal 7 UUD Negara Republik Indonesia 1945 sendiri telah diamanatkan bahwa penambahan masa jabatan presiden dan wakil presiden hanya berlaku untuk satu kali masa jabatan. Oleh karena itu, konstitusi telah secara tegas mengamanatkan bahwa terdapat pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, untuk menghindarkan negara dari otoritarianisme seperti yang terjadi pada era Orde Baru. Terkait dengan pandangan bahwa Wakil Presiden merupakan jabatan yang sama dengan Menteri, karena statusnya sebagai pembantu Presiden seperti yang tertera dalam Pasal 4 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945, sehingga masa jabatannya tidak dapat disamakan dengan Presiden, Koalisi Selamatkan Konstitusi dan Demokrasi (KSKD) menilai bahwa hal tersebut adalah pandangan yang tidak tepat. Wakil Presiden tidak sama dengan Menteri karena pemberhentiannya hanya dapat dilakukan melalui mekanisme impeachement, sedangkan pemberhentian Menteri merupakan wewenang Presiden. Wakil Presiden juga dipilih melalui Pemilu, sedangkan Menteri dipilih secara prerogatif oleh Presiden.
Koalisi Selamatkan Konstitusi dan Demokrasi (KSKD) kemudian juga menyoroti legal standing Partai Persatuan Indonesia (Perindo) sebagai pemohon. Berdasarkan Putusan MK No. 36/PUU-XVI/2018, hanya partai politik peserta pemilu yang dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden yang memiliki legal standing. Sedangkan Perindo baru ikut serta pada pemilu 2019 mendatang sehingga dipastikan tidak memiliki legal standing, oleh karena itu Mahkamah Konstitusi tidak dapat menerima permohonan tersebut. Koalisi Selamatkan Konstitusi dan Demokrasi (KSKD) menyimpulkan bahwa apabila Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan perkara No. 60/PUU-XVI/2018, maka semua usaha pembatasan kekuasaan akan terancam. Hal tersebut akan berimbas juga pada pembatasan jabatan kepala daerah dan wakilnya, kepala atau anggota Lembaga negara/badan/komisi dan jabatan lainnya. Hal tersebut akan berdampak pada lambatnya proses regenerasi kepemimpinan karena kekuasaan akan berputar pada pihak-pihak tertentu saja. Perputaran tersebut berpotensi memunculkan absolutisme kekuasaan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu dan menjadi pemicu terulangnya praktik KKN seperti pada masa otoritarianisme Orde Baru.(FNI)