Perkembangan regulasi terkait advokat asing. Apabila ditelaah dari sisi historis, keberadaan advokat asing sebenarnya sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, jauh sebelum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat diundangkan. Para advokat Belanda pada saat itu bersanding dengan advokat pribumi dan advokat keturunan Tionghoa. Salah satu bukti sejarah yang tercatat adalah ketika Mr. Loekman Wiradinata dipercaya menjadi anggota panitia khusus yang bertugas untuk menangani penyimpangan profesi oleh para advokat. Namun, hal tersebut berkurang (dapat dikatakan berhenti sama sekali) ketika Operasi Pembebasan Irian Barat dilaksanakan awal 1960-an.
Aktivitas advokat asing kembali hadir di Indonesia seiring dengan berkuasanya rezim Orde Baru yang memberlakukan undang-undang penanaman modal. Pada 1974, kali pertama advokat asing diatur dan dibatasi sekaligus diakui keberadaannya dalam suatu produk hukum melalui Keputusan Menteri Kehakiman RI No. J.S.15/24/7 tentang Pelaksanaan Pembatasan Ahli Hukum Warga Negara Asing Pendatang Pada Usaha Pemberian Jasa Dalam Bidang Hukum.
Dibawah Menteri Kehakiman Ali Said, pada 1985, diterbitkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01-HT.04.02 yang pada dasarnya melengkapi keputusan menteri terdahulu. Salah satu poin pengaturannya adalah memberikan pembatasan jangka waktu kerja maksimal 5 (lima) tahun kepada advokat asing sejak diberlakukannya keputusan menteri tersebut. Pada 1991, Menteri Kehakiman Ismail Saleh menerbitkan Keputusan Menteri No. M.01-HT.04.02. Keputusan Menteri ini mencabut 2 (dua) keputusan sebelumnya sekaligus membuka pintu masuk bagi advokat asing.
Pengaturan tersebut kemudian diperbaharui dengan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01-HT.04.02 tahun 1997. Keputusan ini mulai mengatur kerjasama antar firma hukum Indonesia dengan firma hukum asing termasuk penempatan advokat asing pada kantor hukum Indonesia.
Sebagai bentuk penyesuaian dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, pada 2004, diterbitkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.11-HT.04.02. Beberapa substansi dari keputusan menteri ini adalah kewajiban memiliki rekomendasi dari organisasi advokat, jumlah minimal advokat Indonesia untuk sebuah kantor hukum dapat memperkerjakan advokat asing, perbandingan dan jumlah maksimal advokat dalam sebuah kantor hukum Indonesia, deregulasi durasi izin praktik advokat asing, dan kewajiban advokat asing untuk tunduk pada Kode Etik Advokat Indonesia. Keputusan tersebut juga di dukung oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Advokat asing dalam praktik
Terkait dengan bidang praktik hukum yang diperbolehkan dilakukan oleh advokat asing diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Advokat Asing dilarang beracara di sidang pengadilan, berpraktik dan/atau membuka kantor jasa hukum atau perwakilannya di Indonesia. Advokat asing hanya diperkenankan berkedudukan sebagai sebagai karyawan dan tidak dapat mewakili kantor advokat Indonesia ke luar (eksternal). Dengan kata lain, advokat asing hanya diperbolehkan berpraktik atas hukum negara asalnya atau hukum internasional.
Namun, dalam praktik, ditenggarai masih terdapat penyimpangan, baik yang memanfaatkan celah regulasi maupun pengawasan. Beberapa praktik tersebut diantaranya, pertama, advokat terbang atau flying in flying out (FIFO). Advokat ini dengan menggunakan visa turis atau wisata kemudian mengadakan pertemuan dengan kliennya di Indonesia. Setelah memberikan jasa, kembali ke negara asalnya. Kedua, pelanggaran kuota maksimal advokat asing. Ketiga, kantor hukum asing mendirikan kantor hukum di Indonesia dengan “kedok” sebagai perusahaan konsultan berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT). Keempat, kantor hukum abu-abu, dimana pemegang saham utama sebuah kantor hukum warga negara Indonesia namun terdaftar sebagai advokat di negara lain. Kelima, secara terang-terangan membentuk kantor hukum dengan nama campuran (Indonesia dan asing). Keenam, model Ali Baba, dimana kantor hukum Indonesia menjadi nominee kantor hukum asing termasuk manajemennya. Ketujuh, advokat asing memberikan jasa konsultasi hukum Indonesia di negara asalnya atau negara lain selain Indonesia baik dengan tatap muka langsung maupun melalui korespondensi surat elektronik.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut terjadi selain disebabkan pengawasan yang tidak optimal, adalah akibat kurang mendetail/spesifiknya regulasi mengenai advokat/kantor hukum asing dan relasinya dengan advokat/kantor hukum Indonesia.
Tawaran solusi
Melihat fenomena tersebut dapat dikatakan kehadiran advokat asing di Indonesia sulit untuk dibendung. satu pintu ditutup, pintu yang lain terbuka. Hal yang paling rasional dan strategis untuk dilakukan adalah mempersiapkan diri. Tanpa persiapan, sebuah tantangan dapat menjadi bencana. Sebaliknya, dengan persiapan, tantangan dapat ditaklukkan menjadi anugerah. Solusi yang ditawarkan dan sepatutnya dapat dilakukan adalah membuka akses jasa hukum terhadap advokat asing secara bertahap, penguatan kapasitas advokat Indonesia, dan penguatan profesi advokat sebagai pengawas. Solusi tersebut tentu dapat dilaksanakan apabila dilakukan perubahan terlebih dahulu terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Keputusan Menteri Hukum dan Ham No. M.11-HT.04.02 Tahun 2004.
Pembukaan secara bertahap dilandasi pada upaya untuk mendorong adanya fase evaluasi. Hal ini penting sebagai ajang penilaian apa saja yang sudah dijalankan dan dimana kelebihan juga kekurangannya. Untuk itu, sangat penting disusun suatu peta jalan (roadmap) yang dapat memberikan panduan dalam membuka akses advokat asing di Indonesia. Pengalaman Jerman dan negara-negara lain dalam membuka jasa hukumnya dapat dijadikan bahan pembelajaran.
Baik sebelum, selama, maupun sesudah membuka akses terhadap advokat asing di Indonesia, hal yang tidak boleh dilupakan adalah penguatan kapasitas advokat serta calon advokat Indonesia agar dapat bersaing secara global. Perlu diadakan review terhadap kurikulum dan metode pengajaran Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) sembari mendorong pendidikan hukum berkelanjutan (continuing legal education) bagi advokat Indonesia. Begitu juga, pilar fundamental yang harus diperhatikan bersama adalah pendidikan tinggi hukum sebagai dapur pencetak sarjana hukum Indonesia.
Dalam konteks pengawasan, terdapat 3 (tiga) lembaga yang berperan dalam pengawasan advokat asing yaitu Kementerian Hukum dan HAM, PERADI, dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Namun, seyogyanya PERADI tampil sebagai garda terdepan dalam pengawasan dan perannya harus lebih menonjol. Terkait dengan peran dua lembaga pengawas lainnya, PERADI perlu memperkuat kerjasama dan kesepahaman dalam konteks pengawasan advokat asing. Secara internal, perlu dipertimbangkan untuk dibentuk unit khusus pengawasan terhadap advokat dan kantor hukum lokal maupun asing.
Besok akan terlalu terlambat, sekarang saatnya Indonesia berbenah dan mempersiapkan diri. Amat Victoria Curam (Victory Loves Preparation)!
*Penulis adalah Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).
Tulisan ini merupakan rangkuman dari penelitian bersama Giri Ahmad Taufik dan Muhammad Faiz Aziz berjudul “Kajian Pengaturan Advokat Asing dan Kantor Hukum Asing Terkait dengan Liberalisasi Jasa Profesional (PSHK 2012)”.