Prof. Mardjono memilih secara hati-hati kalimat dalam materi yang disampaikan dengan judul “Menoleh Ke Belakang dan Mengantisipasi ke Depan: Suatu Catatan Tentang Beberapa Isu Jaminan Hukum Untuk Tersangka”. Ia memilih kata ‘menoleh’ dan bukan ‘menengok’ untuk membatasi uraian yang beliau sampaikan dalam membahas materi ini. Beliau juga memberikan contoh kejadian sehari-hari dalam menyampaikan materi mengenai jaminan hukum tersangka.
Pada suatu sore, seorang pemilik rumah memanggil tiga asisten rumah tangganya –A, B, dan C. Pemilik rumah bermaksud menanyakan aktivitas ketiga asisten itu sekaligus keberadaan arloji mahalnya yang hilang dari kotak di dalam kamar. A menyatakan bahwa ia seharian membersihkan kolam renang yang sudah lama tidak dikuras. B menyatakan bahwa ia bolak-balik ke toko bangunan dan dapur memperbaiki kran air yang bocor. C gugup dan tidak mampu menjelaskan aktivitasnya. Pemilik rumah dengan mudah menuduh C telah mencuri arlojinya. Pemilik rumah membawa Asisten C kepada pihak kepolisian dan C ditetapkan sebagai tersangka. Padahal, Asisten C tertidur di kamar pada waktu tersebut dan khawatir pemilik rumah menganggapnya malas bekerja.
Prof. Mardjono Reksodiputro mengungkapkan bahwa kejadian tersebut tidak jarang terjadi. Bahkan, dalam hal pemeriksaan oleh penyidik, banyak diberitakan orang yang diam selama proses pemeriksaan dianggap setuju melakukan perbuatan yang ditanyakan oleh penyidik atau bahkan dipaksa mengaku telah melakukan suatu tindak pidana.
Hak untuk tidak menjawab merupakan salah satu dari beberapa hak tersangka yang diusulkan olehnya untuk dapat dipenuhi di Indonesia. Selain itu, Prof. Mardjono juga mengusulkan adanya jaminan lain seperti hak untuk melindungi privasi badan; hak untuk melindungi privasi rumah tempat tinggal; serta hak untuk melindungi privasi komunikasi lisan dan tulisan.
Sementara beberapa hak tersangka yang sudah ada di dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), perlu penegasan. Di antara hak-hak itu antara lain, perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi; diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya; memperoleh kompensasi dan rehabilitasi; mendapatkan bantuan hukum; upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah tertulis. Ketentuan-ketentuan itu pada praktiknya dilanggar sehingga hak-hak tersangka tercederai.
Untuk mengkontekstualkan materi jaminan hak tersangka, Prof. Mardjono menjelaskan terlebih dulu mengenai sejarah hukum acara pidana di Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, Inland Reglemen (IR) mengatur mengenai perlakukan terhadap tersangka, terdakwa, terpidana yang berasal dari golongan Bumiputera. Pengaturan dalam IR dianggap tidak manusiawi. Sementara pada saat yang sama, bagi tersangka, terdakwa, dan terpidana dari golongan Eropa yang berlaku Stravordering yang jauh lebih manusiawi.
Setelah IR, di Indonesia berlaku Herziene Indonesich Reglemen (HIR) yang di dalamnya terdapat semangat kolonial Belanda sekaligus semangat militer Jepang. Keberadaan HIR tidak cukup membawa misi jaminan bagi tersangka, bahkan terus berlanjut hingga penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang kita kenal saat ini. Namun, KUHAP juga tidak cukup mampu menjamin terpenuhinya hak-hak tersangka. Usulan untuk memperbaruinya dilakukan melalui Rancangan KUHAP (RKUHAP) yang disusun oleh pemerintah. Hingga saat ini, proses pembahasannya masih mengalami banyak tantangan. Karena itu, menoleh ke belakang dan mengantisipasi ke depan patut dilakukan dalam pembaruan hukum acara pidana di Indonesia.
Penulis: EDA
Editor: DMI