Tama S. Langkun, Koordinator Divisi Hukum & Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), membahas tentang korupsi politik yang merupakan bagian dari mata kuliah Korupsi dan Penyalahgunaan Wewenang di STH Indonesia Jentera. Di dalam kelas yang diselenggarakan pada Rabu, 10 Mei 2017 itu, Tama terlebih dulu menunjukkan data kasus korupsi yang masuk pada tahap penyidikan berdasarkan sektor semester 1 2016 bahwa sektor keuangan daerah menjadi sektor yang paling rentan dikorupsi. Sementara itu, pelaku korupsi yang masuk tahap penyidikan pada semester 1 2016 berdasarkan jabatan, tertinggi adalah birokrat daerah, disusul pada peringkat kedua petinggi swasta, dan pada peringkat ketiga anggota DPR/DPRD/DPD.
Beberapa putusan perkara korupsi menyebutkan secara spesifik istilah korupsi politik, di antaranya, putusan perkara mantan anggota DPR RI 2009—2014, Anas Urbaningrum dan putusan Bupati Karanganyar 2003—2013, Rina Iriani. Dalam Putusan MA No. 1261 K/Pid.Sus/2015 atas nama Terdakwa Anas Urbaningrum, Hakim menyebutkan bahwa perbuatan terdakwa merupakan korupsi politik.
Walaupun belum ada definisi mengenai korupsi politik, Tama menyebut beberapa kriteria perkara disebut korupsi politik. Pertama, dilakukan oleh pihak yang memiliki pengaruh. Kedua, dilakukan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Ketiga, dilakukan oleh memiliki kekuasaan untuk mengendalikan sesuatu (seperti proyek dsb). Dalam putusan Anas Urbaningrum misalnya, hakim menyebutkan “dengan kedudukannya sebagai Ketua DPP Bidang Politik, Terdakwa mempunyai pengaruh yang besar untuk mengatur proyek-proyek pemerintah yang bersumber dari APBN. Pengaruh Terdakwa menjadi semakin besar setelah Terdakwa mencalonkan diri sebagai Anggota DPR-RI dari Partai ditunjuk sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR-RI 2009—2014… Terdakwa melakukan lobi proyek pemerintah yang dibiayai dengan APBN adalah untuk kepentingan dirinya mencapai cita-citanya menjadi Ketua Umum Partai Demokrat dan calon Presiden….dst dst”
Masih terkait korupsi politik, Tama juga membahas mengenai korupsi pendanaan partai politik (parpol). Secara garis besar, pendanaan partai politik bersumber dari iuran anggora, sumbangan yang sah menurut hukum, dan bantuan APBN/APBD. UU tentang Partai Politik mewajibkan parpol untuk membuat laporan keuangan berisi pengelolaan keuangan yang dilakukan secara transparan dan akuntabel. Namun, Tama menyebutkan bahwa laporan keuangan sebagian besar parpol tidak mengaku mendapat sumbangan pihak lain. Ini merupakan salah satu faktor terjadinya korupsi dana parpol, yang berkaitan erat dengan korupsi politik. Tama menutup kuliah dengan menyebutkan perbaikan tata kelola keuangan parpol yang transparan dan akuntabel sebagai salah satu cara untuk memutus rantai korupsi politik.
Penulis : ED
Editor : APH