Pada kunjungannya ke Amerika Serikat beberapa waktu lalu, Jokowi secara mengejutkan menyatakan keinginan untuk bergabung di dalam Trans Pacific Partnership Agreement (TPP). Tindak lanjut pernyataan tersebut semakin menguat dengan pembentukan tim pengkaji yang diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan pernyataan Jokowi pada forum pertemuan rektor baru-baru ini. Keinginan pemerintah bergabung ke dalam TPP tentu perlu disikapi secara serius dan kritis.
Terdapat dua alasan mengapa Indonesia perlu mempertimbangkan langkah tersebut. Pertama, TPP merupakan sebuah perjanjian internasional antara 12 Pasifik yang telah dibahas sejak tahun 2005 dan telah ditanda-tangani pada akhir tahun 2015. Masuknya Indonesia setelah proses perundingan selesai dan perjanjian tersebut ditanda-tangani, mengundang pertanyaan sejauh mana Indonesia dapat memasukan kepentingan dan posisinya pada perjanjian yang telah terbentuk. Kedua, bagaimana ketentuan-ketentuan dalam TPP berkesesuaian dengan hukum yang ada saat ini, khususnya konstitusi Indonesia.
Pada tulisan ini, penulis bermaksud membahas persolan kedua. Terdapat risiko hukum yang dapat terjadi, seandainya pemerintah berhasil mendapatkan persetujuan dari DPR untuk bergabung dalam TPP. Risiko hukum tersebut adalah risiko gugatan keabsahan undang-undang ratifikasi TPP terhadap Konstitusi. Beberapa isu kluster pengaturan TPP memiliki potensi pertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Pada saat ini, kecenderungan Mahakamah Konstitusi bahwa kebijakan yang bercorak liberal tidaklah berkesesuaian dengan Pasal 33 UUD 1945.
TPP Versus Pasal 33 UUD 1945
Pada level paradigma, perekonomian liberal pada bentuk apapun –tidak hanya terbatas pada TPP- adalah bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Perdagangan bebas merupakan implementasi gagasan ekonomi liberal pada skala global. Perdagangan bebas menghendaki intervensi minimal dari pemerintah terhadap aktivitas perekonomian, termasuk menghapuskan ruang intervensi negara terhadap aktivitas perekonomian lintas batas negara. Berkebalikan dengan gagasan tersebut, Pasal 33 UUD 1945 menghendaki negara selalu hadir dan kuat di dalam kehidupan perekonomian, selama menyangkut cabang produksi penting menyangkut hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pada banyak kebijakan di Indonesia, Pasal 33 UUD 1945 diimplementasikan dengan pemberian hak ekslusif kepada BUMN untuk melaksanakannya. Pada bentuk lain, negara mengambil kebijakan penggunaan produk lokal dibandingkan dengan produk luar negeri dalam rantai supply perusahaan terkait dengan cabang-cabang produksi penting dan sumber daya alam. Corak ekonomi Pasal 33 UUD 1945 memiliki corak ekonomi proteksionis dan monopolistik, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan semangat dari perdagangan bebas yang memiliki semangat kompetisi bebas dan anti monopoli.
Pada TPP kompetisi bebas dan anti monopoli merupakan jiwa yang mengatur 30 kluster pengaturan, dimana dua diantaranya, pengaturan BUMN dan Pengadaan Pemerintah sangat berpotensi bertabrakan secara langsung dengan konstitusi Indonesia. Sebagai contoh, rumusan-rumusan pertimbangan komersil (commercial considerations), anti kompetisi (anticompetitive), non diskriminasi (non-discrimination) atau non-monopoli (non-monopolised market) pada TPP merupakan rumusan yang berpotensi untuk membatasi BUMN di dalam melaksanakan fungsi-nya sebagai agen pemerintah dalam mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pada konteks pengadaan barang pemerintah (government procurement), kebijakan penggunaan produk lokal (TKDN) dalam Industri Migas akan bertabrakan langsung dengan prinsip-prinsip pengaturan TPP terkait dengan pengadaan barang pemerintah. Padahal kontribusi kebijakan ini sangat signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2014 kebijakan TKDN berkontribusi kepada perekonomian Indonesia sebesar Rp. 209 Trilliun. Hal ini telah memberikan kesempatan kerja kepada sebanyak 899.400 Tenaga Kerja Indonesia dan menyumbang pada pendapatan rumah tangga Indonesia sebesar Rp.23,8 Trilliun (Laporan SKK Migas, 2015).
Risiko Pembatalan
Kebijakan pemerintah untuk mendorong keikutsertaan Indonesia menjadi anggota TPP, bukan tanpa risiko hukum. Secara normatif, setiap perjanjian internasional yang memiliki dampak pada kedaulatan atau hak berdaulat negara, harus disahkan dengan undang-undang. Hal ini memiliki konsekuensi, jika seandainya DPR menyetujui undang-undang ratifikasi TPP, maka undang-undang ini menjadi objek yang dapat diujikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada Putusan MK Nomor 33/PUU-IX/2011, MK menyatakan -Hamdan Zoelva dan Maria Farida mengajukan dissenting– bahwa undang-undang ratifikasi merupakan obyek yang dapat diajukan sebagai materi judicial review di Indonesia. Sebagaimana pada analisis di atas, beberapa ketentuan TPP berpotensi untuk melanggar ketentuan Pasal 33 UUD 1945. Putusan MK akhir-akhir ini, pasca Putusan Pembubaran BP Migas (36/PUU-X/2012), menunjukan kecenderungan berpihak pada tafsir konservatif Pasal 33 UUD 1945. Tafsir tersebut menguatkan peran negara melalui BUMN dalam cabang produksi dan sumber daya alam dan cenderung menolak keterlibatan swasta langsung di dalam pengelolannya. Putusan terakhir yang menunjukan kecenderungan tersebut dapat dilihat di dalam Putusan Pembatalan UU SDA (Nomor 85/PUU-IX/2013).
Pada Perjanjian TPP, peran BUMN telah dikerdilkan dalam rumusan commercial consideration (Article 17.4 TPP). Keputusan BUMN dalam melakukan aktivitas usahanya, tidak boleh keluar dari ketentuan commercial consideration, keputusan BUMN dalam memenuhi kebutuhan masyarakat tidak bisa selaras dengan commercial consideration. Pengkerdilan peran ini tentu bertentangan dengan semangat tafsir Putusan Pembubaran BP Migas. Pada putusan tersebut, peran sentral BUMN menjadi penting karena merupakan agen pemerintah untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (hlm.101 – 102). Pembatasan bahwa keputusan BUMN harus berdasarkan commercial consideration tentu berpeluang menutup peran BUMN tersebut, sehingga BUMN tidak lebih dari perusahaan komersil yang dimiliki oleh pemerintah untuk sebesar-besarnya mengejar keuntungan.
Berdasarkan pada hal-hal tersebut di atas, sudah selayaknya pemerintah mempertimbangkan secara cermat terhadap konsekuensi-konsekuensi dari mengikatkan diri pada perjanjian TPP. Salah satu yang terpenting dari pertimbangan tersebut adalah keselarasan perjanjian TPP dengan ketentuan Pasal 33 UUD 1945. Pada analisis tersebut di atas, dapat sementar disimpulkan rumusan Perjanjian TPP yang ada tidaklah selaras dengan ketentuan Pasal 33 UUD 1945.
Sumber: https://www.pshk.or.id/blog-id/konstitusionalitas-perjanjian-transpacific-partnership/