Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Bukan Semata pada “Merugikan Keuangan Negara”
Rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menimbulkan berbagai penafsiran yang dianggap menjerat banyak korban. Aparat penegak hukum cenderung fokus pada pembuktian “merugikan keuangan negara” daripada unsur lain yang terdapat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Diskusi mengenai “Pemaknaan Pasal 2 dan 3 UU Korupsi: Norma dan Praktiknya” yang dimoderatori oleh Estu Dyah—peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia/PSHK—ini ini berusaha membedah rumusan tindak pidana atau delik yang ada dalam ketentuan pasal-pasal ini.
Setiap narasumber yang diundang menyampaikan pandangannya terkait Pasal 2 dan Pasal 3 UU Korupsi dalam diskusi tersebut yang diadakan pada 29 Maret 2016 di Kampus Jentera. Chandra Hamzah (advokat dan Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK) mengawali pemaparannya dengan uraian sejarah perumusan tindak pidana korupsi pada lima periode. Selama kelima periode hingga UU Tipikor Tahun 2001, terdapat perkembangan unsur melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan dalam delik korupsi. Dari perkembangan yang ada, korupsi diartikan sebagai perbuatan memperkaya/menguntungkan diri sendiri/orang lain/suatu korporasi (secara melawan hukum).
Chandra menilai bahwa terjadi inkonsistensi aparat penegak hukum dalam penafsiran unsur melawan hukum dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Seharusnya, apabila unsur melawan hukum tidak dirumuskan dalam pasal, perbuatan yang dilakukan sudah dianggap melawan hukum. Jika unsur melawan hukum dirumuskan dalam pasal, perbuatannya harus ditemukan terlebih dahulu, baru dicari melawan hukum atau tidak.
Narasumber dari KPK, Lie Putra Setiawan, memaparkan bahwa KPK dalam praktiknya tidak memisahkan antara unsur perbuatan memperkaya diri sendiri dan caranya yang melawan hukum. Dalam artian, keseluruhan unsur yang ada dalam satu rangkaian rumusan pasal dibuktikan. Khusus mengenai unsur melawan hukum, KPK mengamini Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 yang membatasi unsur “melawan hukum” dalam Pasal 2 sebagai “melawan hukum formil” yang hanya diatur dalam undang-undang tertulis.
Arsil, peneliti Lembaga Kajian & Advokasi Independensi Peradilan/LeIP, berbeda pandangan dengan menilai bahwa terdapat kekeliruan pemahaman Hakim Mahkamah Konstitusi dalam mengenai unsur delik Pasal 2 UU Tipikor. Mahkamah Konstitusi khawatir jika “melawan hukum” ditafsirkan secara luas dapat mengkriminalisasi perbuatan yang bukan perbuatan pidana. Kekhawatiran itu tidak lain disebabkan kekeliruan Mahkamah Konstitusi menilai “melawan hukum” merupakan bestaandeel delict (unsur inti delik) bersama dengan unsur delik “dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara”. Mahkamah Konstitusi tidak melihat pada perbuatan “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” sebagai inti delik. Pemahaman serupa juga terdapat di Mahkamah Agung melalui putusan-putusannya yang lebih menekankan pembuktian “kerugian keuangan negara” yang merupakan akibat, dibandingkan dengan perbuatan “memperkaya diri sendiri” yang merupakan inti delik.
Selain masalah rumusan delik, ancaman pidana dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dinilai oleh Luhut Pangaribuan (Ketua Umum PERADI) dirumuskan secara tidak tepat. Pasal 3 yang merupakan pemberatan dari perbuatan yang diatur di Pasal 2—karena korupsi dilakukan dengan menyalahgunakan kewenangan karena jabatannya—justru memiliki ancaman pidana yang lebih rendah.