Tak mudah untuk mendiskusikan nyawa yang hilang karena kebijakan meskipun ia nyata. Ecosoc Rights, sebuah lembaga riset di Jakarta, meluncurkan laporan penelitian yang menyedihkan sekaligus menggelisahkan. Setidaknya 1.014.351 warga meninggal selama kurun 2014-2024 karena hal-hal yang seharusnya merupakan tanggung jawab negara. Di antaranya ada 67.091 orang meninggal karena kualitas layanan kesehatan dan kondisi kesehatan ibu dan anak; 6.815 jiwa melayang karena kemiskinan, kelaparan, dan tekanan ekonomi; dan 320 orang meninggal akibat pertambangan dan proyek strategis nasional.
Riset itu sebenarnya sangat penting karena menguantifikasi dampak pelanggaran hak yang selama ini sulit untuk mudah dilacak karena dikaburkan dengan urusan agama atau nasib sial, yaitu hak ekonomi, sosial, dan budaya (hak ekosob). Hak-hak ekosob sama pentingnya dengan semua hak lainnya, tetapi tantangannya sangat besar karena pelanggaran terhadapnya tak akan diributkan. Sebab, mempertanyakan kematian seseorang kerap dianggap sebagai laku tak menerima takdir Tuhan. Padahal, dalam banyak aspek kehidupan duniawi manusia, negara punya andil sebagai pemimpin manusia di dunia. Dalam relasi warga dengan negaranya, hubungan ini dinamai hak dan kewajiban.
Bukankah negara pada awalnya ada karena ada manusia-manusia di dalam wilayahnya? Setiap manusia yang berhimpun dalam negara memilih manusia-manusia penyelenggara untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi hak-hak mereka semua. Lantas pemimpin juga diserahi amanat mengelola sumber daya untuk melakukan kewajiban-kewajiban penghormatan, pemenuhan, dan pelindungan hak tersebut.
Bagian dari hak itulah yang kemudian dalam aspek hukum kenegaraan dan hukum internasional dinamai hak ekosob. Di dalamnya antara lain ada hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak atas pendidikan dasar wajib dan gratis, serta hak atas standar tertinggi kesehatan. Semua hak itu juga dimuat dalam UUD 1945. Bahkan, sejak awal, para pendiri bangsa Indonesia sudah melampaui zamannya dengan menegaskan mengenai keadilan sosial yang termuat dalam Pancasila.
Sayangnya, cita-cita tentang keadilan sosial jauh dari kenyataan yang ada. Yang terjadi sekarang adalah kondisi kemiskinan dan pendidikan yang tidak mencerdaskan sebagai akibat kebijakan dan proses politik yang hanya menguntungkan sebagian orang. Terang saja, warga yang miskin dan bodoh memang akan dengan mudah dimanipulasi. Warga dibuat hanya menunggu bantuan sosial yang membungkus kepentingan politik atau hanya menelan manipulasi informasi karena tak mampu berpikir kritis.
Kondisi kemiskinan dan pendidikan yang tidak mencerdaskan sebagai akibat kebijakan dan proses politik yang hanya menguntungkan sebagian orang.
Hak-hak ekosob adalah hak dasar, bukan semacam hadiah dari pemerintah yang sedang baik hati atau sumbangan karena rasa kasihan. Maka, solusi bagi kemiskinan bukan sekadar bantuan sosial yang bersifat sementara, melainkan pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Bantuan bagi orang miskin juga tak hanya bersifat karitatif, dengan mendatangkan sumbangan dari pengusaha kaya atau mengandalkan kedermawanan orang Indonesia yang memang dikenal sangat tinggi di dunia.
Adalah tanggung jawab negara untuk memastikan adanya pelayanan kesehatan yang bisa diakses semua orang sehingga tak perlu ada ibu hamil yang meninggal saat akan melahirkan karena tidak ada jalan yang layak menuju rumah sakit terdekat. Negara juga harus memastikan, tidak hanya orang kaya yang bisa mendapatkan sekolah bagus dan tidak ada warga yang dieksploitasi di tempat kerjanya dengan upah yang jauh dari layak.
Polisi berusaha membubarkan aksi unjuk rasa aktivis mahasiswa Papua di Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (5/3/2021). Konflik berkepanjangan hingga saat ini masih terjadi di Papua dengan berbagai pesoalannya.
Buruknya kondisi hak ekosob ini bukan karena ketidakpahaman, melainkan karena kekuasaan memang sangat menggiurkan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Kebijakan berupa undang-undang hari-hari ini kerap dibuat semata-mata untuk tujuan yang hanya menguntungkan sebagian orang. Misalnya, revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara, yang dibuat justru untuk menjauhkan tata kelola pertambangan mineral dan batubara dari praktik baik (good governance) karena ada pihak-pihak yang mempunyai benturan kepentingan di dalamnya. Begitu pula dengan Undang-Undang Cipta Kerja yang semakin terlihat dampak buruknya bagi warga dan lingkungan.
Hari-hari ini, hidup di Indonesia bagi warga biasa yang tak punya kekuasaan seakan seperti harus berlomba untuk bertahan hidup. Wakil Presiden Mohammad Hatta dalam pidatonya di Universitas Indonesia pada 11 Juli 1957 mengatakan, ”Survival of the fittest membiarkan kemenangan kepada yang terkuat. Tidak sesuai dengan jiwa Indonesia, yang berisikan semangat gotong royong. Semuanya itu menghendaki pimpinan yang berdasarkan pengetahuan…. Ini menghendaki adanya pimpinan politik yang berjiwa besar dan bermoral tinggi.”
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/mati-sunyi-dalam-gaduh-politik?utm_source=link&utm_medium=shared&utm_campaign=tpd_-_ios_traffic
Tanggal: 06 Maret 2025
Dipublikasikan oleh:
