Di zaman feodal, seorang yang mempunyai darah raja-raja, biarpun bodohnya seperti kerbau, ’boleh menaiki singgasana dengan pertolongan pendeta dan bangsawan’, menguasai nasib berjuta-juta manusia.”
Tan Malaka menulis kalimat di atas pada 1926 dalam buku Aksi Massa. Tan Malaka menulisnya sebagai sebuah fenomena yang mesti ditentang, nyatanya nyaris seabad kemudian berbagai bentuk feodalisme masih bisa dilihat jelas dalam politik.
Feodalisme, sederhananya, merupakan sistem sosial yang bertumpu pada relasi atasan-bawahan yang sangat kuat yang bersandar pada relasi sosial pada masa lalu yang didasarkan pada status kebangsawanan dan kepemilikan tanah. Para bangsawan dan tuan tanah mempunyai kekuasaan mutlak atas rakyat jelata. Penguasa tak bisa dikritik, apalagi ditentang, karena rakyat jelata bergantung padanya. Kehidupan rakyat seakan diberikan oleh penguasa, bukan soal hak. Bagi rakyat, yang ada hanyalah kewajiban.
Kerajaan-kerajaan di Nusantara tentu juga memiliki sistem sosial dan politik seperti ini. Dalam catatan sejarah, cara kolonialisme masuk ke Nusantara justru dengan berkawan dengan elite kerajaan. Maka, feodalisme dipelihara dalam bentuk yang berbeda. Apalagi, pembedaan strata sosial klop dengan gagasan kolonialisme. Raja-raja dijadikan perantara penindasan rakyat jelata oleh penguasa kolonial. Raja-raja yang bersedia tunduk dimuliakan sembari terus digerogoti. Kolonialisme melestarikan sistem feodal, yang terus berlanjut hingga Indonesia merdeka.
Cara pandang feodal terus terbawa dalam politik Indonesia. Model kekuasaan yang terpusat menimbulkan elite penguasa yang juga hanya ingin dipatuhi tanpa kritik. Gelar kebangsawanan digantikan dengan jabatan politik dan gelar akademik—atau keduanya—sehingga politikus juga gemar mengejar gelar akademik dengan segala cara.
Birokrasi Indonesia pun masih menerapkan sistem yang feodal. Bawahan sering kali diharapkan menunduk-nunduk pada atasan dan pelayanan publik dibuat rumit sehingga seakan publik yang melayani birokrasi.
Repotnya, feodalisme tak hanya ada di kalangan elite, tetapi ia masih ada dan dipraktikkan dalam semua lapisan masyarakat karena pendidikan yang tidak membebaskan. Maka, feodalisme membuat politik Indonesia miskin gagasan sehingga politik minim dampaknya pada kesejahteraan warga. Dalam pemilihan umum, pemilih sering kali dibuat terpukau pada simbol, gimik, dan sosok. Akibatnya, sokongan presiden, mantan presiden, dan pesohor dijadikan cara pintas untuk menaikkan elektabilitas. Politikus tak berdebat soal pemikiran dan program, tetapi berlomba meminta dukungan dari pejabat.
Bahkan, hari-hari ini model masyarakat feodal juga bisa kita lihat dari politik dinasti. Keluarga-keluarga elite memanfaatkan lubang-lubang aturan dalam prosedur demokrasi untuk memastikan keluarga mereka tetap memegang kekuasaan. Persis seperti dalam kerajaan, kekuasaan dibagi-bagi di antara keluarga dan kelompoknya sendiri.
UUD 1945 naskah awal mengatakan, ”Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).” Para pendiri bangsa pada saat itu ingin menyatakan dengan tegas, kekuasaan yang dibagi-bagi dan dilaksanakan sekadar semau penguasa sudah harus digantikan oleh kekuasaan yang dibatasi oleh hukum. Harusnya, tak boleh lagi ada kekuasaan yang dibagi-bagi dan disalahgunakan untuk si empunya kekuasaan sendiri karena hukum akan membatasinya. Namun, sayangnya, belakangan ini hukum juga nyaris tak berdaya karena dibuat dan diterapkan oleh yang punya kekuasaan.
Tak hanya melalui hukum dan pendidikan yang berlandaskan kepatuhan, feodalisme juga digaungkan melalui narasi di media sosial. Celotehan di berbagai media sosial didesain untuk menormalkan kekuasaan yang tak menginginkan kritik dan praktik nepotisme. Akibatnya, para pejabat sudah tak malu-malu lagi menunjukkan praktik feodalisme.
Hukum dan tangan-tangan kekuasaan rasanya tak lagi bisa diharapkan untuk membongkar feodalisme dalam politik. Maka, tampaknya kita sendiri yang harus memutus mata rantai ini dengan menolak feodalisme dan ketidakpatutan dalam berpolitik serta tidak memilih politikus yang hanya bisa mengandalkan relasi dan dukungan.