Pemilihan umum di Indonesia, yang berlangsung pada 14 Februari, ditandai oleh tingkat partisipasi pemilih yang tinggi. Negara ini memiliki riwayat pemanfaatan media sosial untuk membungkam “narasi” tertentu, presiden petahana yang diduga melakukan campur tangan, penggunaan pengadilan untuk mengutak-atik aturan pencalonan, keresahan tentang kebebasan sipil, serta upaya menyudutkan lawan dan memberangus kritik.
Di Indonesia, pemilih muda memainkan peran kunci dalam terpilihnya Prabowo Subianto, mantan jenderal di bawah rezim otoriter presiden terdahulu Suharto, yang berpasangan dengan walikota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, putra dari presiden yang sedang menjabat. Sebagian besar dukungan untuk pasangan ini berasal dari kalangan milenial dan Gen Z.
Salah satu aspek yang patut diperhatikan dari pemilu ini adalah penggunaan AI generatif dalam kampanyenya. Contohnya, avatar AI bergaya kartun untuk merepresentasikan Prabowo Subianto, yang dibuat menggunakan alat penghasil gambar Midjourney, menjadi populer di kalangan pemilih pemula. Sang Menteri Pertahanan yang berusia 72 tahun tersebut sebelumnya pernah dituduh melakukan pelanggaran HAM terhadap pegiat politik di daerah Timor TImur – kini Timor Leste – dan Papua pada 1990-an akhir. Namun, Avatar baru ini tidak lagi menggambarkannya sebagai sosok nasionalis yang berapi-api, dan justru membuatnya kerap dijuluki “gemoy”, istilah gaul bahasa Indonesia yang berarti lucu dan menggemaskan.
Kami mewawancarai dua aktivis muda dari Indonesia, Samuel Moifilit dan Afifah Fitriyani, untuk memahami pengalaman dan persepsi mereka terhadap pemilu. Kami juga mewawancarai John Reiner Antiquerra, Senior Program Officer for Outreach and Communication; Tharindu Damith Abeyrathna, Senior Program Officer for Campaign and Advocacy; dan Brizza Rosales, Executive Director dari Asia Network for Free Elections (ANFREL) tentang pemilu di Indonesia dan tanggapan dari para narasumber di atas.
ANFREL telah merilis laporan hasil pengamatan mereka terhadap pemilu Indonesia tahun 2024 yang berjudul “Beyond Power: Upholding the Rule of Law amid Democratic Adversities”. Laporan ini tersedia untuk diunduh dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.
Kalangan muda dan pemilu
Indonesia memiliki lebih dari 204 juta pemilih terdaftar (75% dari populasi keseluruhan). Lebih dari 56%-nya adalah pemilih muda, yang memainkan peran penentu terhadap hasil pemilu silam. Berdasarkan sensus nasional tahun 2020, sekitar 28% penduduk Indonesia dikategorikan sebagai Generasi Z, sementara Milenial memiliki porsi sekitar 26%.
Indonesia memiliki tingkat penetrasi internet sebesar 77%, dan berdasarkan statistik tahun 2023 sebagian besar pelanggan ponsel menghabiskan sebagian besar waktunya terhubung ke internet. Para peserta pemilu semakin gencar mengambil hati pemilih muda dengan berkampanye melalui platform seperti X, Facebook, dan TikTok. Pendekatan pemilih muda menggunakan teknologi dan media sosial berpengaruh signifikan terhadap diskursus publik.
Terkait partisipasi organik dari kaum muda, Brizza dari ANFREL memberikan komentar. “Di seluruh Asia, tren saat ini adalah partisipasi politik organik dari kelompok muda. Namun, terdapat variasi dalam bentuk keterlibatan politik kalangan muda. Dapat ditemukan pemuda-pemudi yang memiliki pandangan dan pendirian politiknya masing-masing. Beberapa terlibat secara aktif dalam politik kampus atau berorganisasi untuk partai politik, sementara yang lainnya tetap netral atau lebih suka mengamati ketimbang terlibat aktif. Terlepas dari itu, banyak yang memperjuangkan khitah politiknya dengan berbagai cara. Oleh karena itu, penting untuk tidak menggeneralisasi partisipasi politik pemuda tanpa mempertimbangkan variasi-variasi ini.”
Masalah aksesibilitas
Indonesia adalah negara besar yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan suku yang beraneka ragam. Meskipun kota-kota besar melaporkan tingkat partisipasi pemilih yang tinggi,
pengalaman berbeda ditemui di beberapa daerah terpencil.
“ANFREL tidak dapat menurunkan pemantau untuk mendapatkan pengalaman langsung di Papua,” ujar John. Secara historis, sulit untuk mendapatkan wawasan langsung dari wilayah paling timur negara ini. Jurnalis dan pengamat asing yang tertarik untuk meliput provinsi-provinsi di Papua harus mengikuti prosedur penyaringan pemerintah yang ketat, dan jurnalis serta aktivis lokal rentan terhadap serangan dan penangkapan oleh pihak berwajib.
Gambar 1: Seorang pemilih mengamati contoh surat suara yang dipajang di salah satu Tempat Pemungutan Suara di Jakarta, Indonesia. [Sumber: Dwinda Nur Oceani.]
Samuel tinggal di Sorong, Papua Barat, provinsi Indonesia dengan jumlah penduduk yang paling sedikit. Di daerah ini, terdapat gerakan pemberontakan yang kuat dan keberadaan polisi dan militer senantiasa dirasakan. Pemerintah berdalih bahwa hal ini merupakan upaya untuk mempertahankan perdamaian dan ketertiban. Provinsi berbukit-bukit dengan jangkauan seluler yang tidak merata ini kerap mengalami pemadaman internet. Situasi semakin diperparah dengan seruan dari Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) pada bulan Januari untuk memboikot pemilu Indonesia, sehingga partisipasi pemilu Papua Barat tahun ini lebih rendah dibandingkan provinsi lain.
Samuel bercerita tentang sejumlah masalah terkait akses internet di Papua:
“Di desa-desa itu sulit sekali (bagi anak muda untuk) akses informasi, meskipun sudah ada program BAKTIAKSI (inisiatif pemerintah untuk menyediakan akses internet menggunakan serat optik di daerah pedalaman dan perbatasan di Indonesia). Sudah ada infrastruktur yang dibangun, tapi tetap saja kurang mampu mengakomodasi kebutuhan komunitas (karena keterbatasan bandwidth jaringan, yang terkadang hanya mencapai 1 Mbps). Misalnya, di satu desa itu hanya bisa 20 HP yang bisa akses WhatsApp di satu waktu. Kalau YouTube bisa cuma 1 HP dalam satu waktu. Bahkan sulit mencari sesuatu di Google. Biasanya kita (anak muda) begadang karena kecepatan internet itu membaik sekitaran subuh.”
Baca Selengkapnya: Pelanggaran Hak Digital di Papua (Bahasa Inggris)
Samuel menyaksikan terjadinya “serangan fajar” (praktik politik uang yang dinamai demikian karena pembagian uang suap kepada pemilih cenderung dilakukan di pagi hari), seperti yang terjadi pada pemilu 2019. “Di 2024 juga ada ‘serangan fajar’. Di beberapa daerah bahkan ada oknum militer yang mengarahkan harus memilih siapa,” ungkapnya.
Mereka yang ingin memberikan suara, terutama di daerah perkotaan, juga berhadapan dengan masalah; Sam menceritakan pengalaman beberapa orang temannya saat berupaya memberikan suara. “Teman-teman juga banyak yang belum punya KTP (Kartu Tanda Penduduk) Mereka berusaha datang dengan menggunakan nomor yang ada di KK (Kartu Keluarga), tetapi ditolak sama panitia di TPS.”
E-KTP digunakan sebagai bukti identitas utama bagi warga negara Indonesia, dan menjadi kebutuhan untuk mengakses layanan transportasi umum antar-kota, perbankan, sistem jaminan kesehatan, maupun layanan swasta. Namun, beberapa komunitas terhalangi dari mendaftar ke dalam sistem karena identitasnya tidak terakomodasi: sebagai contoh, seorang transgender atau non-biner tidak dapat mencantumkan gender pilihan mereka pada kartu identitas tanpa didukung putusan pengadilan, yang berbiaya tidak sedikit, dan; penganut agama dan kepercayaan minoritas maupun masyarakat adat banyak yang tidak memiliki E-KTP akibat masalah aksesibilitas dan tidak adanya pengakuan negara terhadap agama atau kepercayaannya, yang wajib dicantumkan. Dalam pemilu, E-KTP digunakan sebagai metode pembuktian identitas yang paling utama, meskipun Kementerian Dalam Negeri RI mengaku telah mengizinkan penggunaan bukti identitas alternatif seperti Surat Izin Mengemudi (SIM) dalam proses verifikasi di TPS.
Sementara itu, Afifah di Bogor, kota yang dekat dengan wilayah DKI Jakarta, memiliki perspektif yang berbeda.
“Rasanya lebih banyak anak muda yang ngeramein proses pemilu 2024 dibandingkan 2019 (dalam proses kampanye maupun pencoblosan). Ini 2024 lebih seru gitu, banyak temanku yang semangat juga untuk bisa milih.
Cuma, beberapa temanku cerita kalau identitas mereka ada yang dipakai sama orang lain buat nyoblos, jadi pas mereka datang ke TPS, katanya mereka sudah milih, padahal belum.”
Dilaporkan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) diduga mengalami kebocoran data pada 30 November 2023. Hal ini meningkatkan kekhawatiran tentang rentannya sistem keamanan digital badan penyelenggara pemilu ini, yang disebut para analis berpotensi membahayakan integritas pemilu mendatang.
Kemunculan gaya kampanye daring yang baru
Sepanjang pemilu tahun 2024, platform media sosial seperti Facebook, YouTube, Tiktok, dan WhatsApp menjadi medan pertempuran politik yang sengit dan rumit. Memang benar bahwa platform-platform ini meningkatkan partisipasi dan keterlibatan pemilih muda. Namun, mereka juga memudahkan penyebaran informasi palsu dan hoaks, yang berpotensi merusak integritas pemilu.
Afifah merasa bahwa pemilu 2024 lebih “seru” dan “ramai” dengan semakin terlibatnya kaum muda, khususnya pemilih pemula, yang mengakrabkan diri dengan isu pemilu dan pemerintahan melalui media sosial. Menurutnya, konten video singkat menjadi teknik kampanye dan sosialisasi “yang paling efektif sekarang”, terutama di TikTok.
Sepengamatannya, pemakaian tingkat tinggi filter, video, dan suara dalam kampanye media sosial membuat konten-konten ini trending dan viral. Kampanye salah satu pasangan calon sangat menonjolkan kegiatan “seru” seperti menari (“joget”) dan membangun citra yang baru (“gemoy“) bagi calon presidennya.
Pasangan calon yang lain mengadakan ruang diskusi hibrid yang diselenggarakan di YouTube untuk memperkenalkan strategi dan tujuan mereka jika terpilih. Partai-partai politik juga memanfaatkan media sosial untuk lebih meningkatkan citra mereka. Didukung oleh kalangan Milenial dan Gen Z, fenomena ini mencerminkan hasrat generasi lebih muda untuk terlibat dalam diskursus politik yang lebih interaktif, substantif, dan inklusif.
Namun, tidak semua tergerak untuk terjun lebih dalam; Afifah memperhatikan bahwa banyak orang, termasuk teman-temannya sendiri, menentukan pilihannya berdasarkan “branding” dan “imej” digital yang dibangun ketimbang menilai rekam jejak calon yang sesungguhnya. Dari pengamatannya, banyak pemilih muda yang masih ragu justru menghindari acara diskursus semacam ini. “Teman-teman aku banyak juga yang malas pergi ke acara kayak gitu,” katanya, “Kata mereka, itu mah cuma buat orang pintar doang.”
Samuel membenarkan bahwa media sosial juga berperan dalam pemilu di Papua:
“Media sosial memang tempat utama kawan-kawan mencari berita dan membentuk opini berdasarkan postingan-nya, baik yang bagus maupun yang kurang baik.”
“Teman-teman juga aktif berkampanye. Beberapa musisi Papua ada yang menyuarakan untuk pemilu luberjurdil lewat musik rap dan hip-hop. Ada juga yang mendesain poster untuk melawan politik uang,” ujar Samuel.
Kalangan muda juga terlibat secara aktif dalam upaya pendidikan kewarganegaraan. Beberapa kelompok anak muda mencetuskan gerakan “Bijak Memilih”, yang mencakup situs dan acara edukatif untuk memperkenalkan riwayat calon dan partai kepada pemilih muda.
Dirty Vote, sensor, dan shadow-ban
Afifah tidak merasakan pemadaman internet di wilayah Jawa Barat. Sebaliknya, Samuel merasa bahwa dirinya mengalami gangguan jaringan pada 12 Februari – hanya selang 2 hari sebelum hari pemilihan. “Waktu itu saya sedang mengakses website KPU, tapi tiba-tiba halaman depannya nggak muncul. Saya juga tidak bisa ngecek TPS saya dan teman-teman waktu itu.” Situs web juga tidak dapat diakses di seluruh Indonesia pada hari-H pemilu, diduga akibat serangan D-DoS.
Afifah menyatakan bahwa dokumenter penuh kontroversi berjudul “Dirty Vote” yang mengungkapkan dugaan praktik pembelian suara dan kecurangan sistemik dalam pemilu 2024 – disutradarai Dandhy Laksono, seorang jurnalis, pembuat film, dan aktivis – diduga mengalami shadow-ban di platform peluncurannya, YouTube. Menurut pengakuannya, pada tanggal peluncuran – 13 Februari, persis satu hari sebelum pemilu – film tidak bisa dicari. “Waktu itu supaya bisa nonton, kita harus pakai link yang di-share.”
Afifah juga mengatakan bahwa “banyak post Instagram yang berbau politis” mengalami shadow-ban. Shadow-ban mengacu pada tindakan intervensi engagement yang diterapkan oleh platform media sosial untuk membatasi jangkauan konten-konten tertentu di media sosial. Banyak aktivis di Indonesia menduga bahwa tindakan ini condong menyasar konten yang mengkritik pemerintah. Sebelumnya, film dokumenter “Sexy Killers” yang memiliki kadar kekritisan serupa dan membongkar hubungan antara militer dan perusahaan tambang di Indonesia juga sulit ditemukan di YouTube.
Gambar 2: Contoh komentar tersembunyi di bawah postingan politik. Tagar bertuliskan “Papua bukan tanah kosong” dan labelnya bertuliskan “disembunyikan oleh Instagram”. [Sumber: Samuel Moifilit]
Mengenai pengalaman pribadinya menyelenggarakan sesi “nonton bersama” film ini di kota asalnya, Samuel juga menyoroti hal berikut:
“Waktu Dirty Vote keluar, tiba-tiba akses internet itu lamban sekali, dan kita tidak bisa buka YouTube. Akhirnya kita bisa lihat (film) dari drive yang ada filmnya.” YouTube menyanggah tuduhan telah melakukan shadow-ban, menyatakan bahwa sistemnya berfungsi seperti biasa pada hari peluncuran film.
“Waktu itu, kita (pers mahasiswa dan PapuanVoice) mau bikin acara nobar Dirty Vote, tapi tiba-tiba salah satu teman kita di-kontak sama pihak berwajib, ditanya-tanya soal kegiatannya (…), minta kontak ketua acara, dan lain sebagainya.”
Rencana nobar (nonton bersama) “Dirty Vote” untuk umum di Jakarta juga terbentur masalah saat pengelola lokasi membatalkan acara, dengan alasan kegiatan “bertentangan dengan aturan masa tenang kampanye” meskipun diselenggarakan oleh gerakan masyarakat sipil, sehingga aturan tersebut tidak berlaku. Tidak patah arang, beberapa netizen menyelenggarakan acara “nonton bersama” yang interaktif melalui melalui akun pribadi YouTube masing-masing, memberikan ruang bagi penonton untuk menyimak sekaligus mengomentari film secara bersamaan.
Memburu informasi, Mengarungi disinformasi
Di Papua, penduduk setempat menghadapi kesulitan untuk mengenali calon dan isu-isu kampanye lebih dalam karena koneksi internet yang lambat atau bahkan tidak tersedia.
Menurut Samuel, “Informasi terkait pemilu lebih mudah didapatkan di area perkotaan, karena lebih banyak orang yang punya akses dan paham internet. Kalau di pedesaan, nggak banyak orang tahu tentang informasi seputar pemilu (resmi maupun independen), atau channel berita mana yang bagus.”
Dia juga mengatakan, “Informasi dari dalam Papua juga sangat sulit keluar dari daerah, apalagi informasi terkait sebelum dan setelah pemilu. Biasanya, informasi terkait Papua tersebar di wilayah Papua saja.” Diketahui bahwa pemerintah sudah beberapa kali melakukan pemblokiran situs berita yang meliput isu-isu Papua, serta mengoperasikan beberapa situs berita yang terafiliasi dengan militer dengan fokus liputan pada daerah Papua.
Afifah menemukan banyak upaya pembentukan opini di media sosial:
“Di Twitter, aku notice kalau banyak bot dan buzzer yang sering nge-spam (topik politik) trending pakai tweet nggak jelas, mungkin untuk mengubur beritanya.”
Di TikTok, julukan “anak abah” (mengacu pada pendukung salah satu calon, Anies Baswedan, yang kerap dipanggil “Abah” atau ayah oleh pendukungnya) sering digunakan sebagai olokan atau sanggahan terhadap pihak yang mengkritik pemerintah saat ini maupun kebijakannya. Pembuat konten sering kali menjadi sasaran dan menerima kritik yang mengandung argumen dan hinaan repetitif, yang sering kali bercampur dengan sentimen anti-intelektualisme.
Afifah menyebutkan bahwa akademisi sering menjadi sasaran disinformasi. “Misalnya, dosen-dosen yang ikut terlibat di film Dirty Vote, banyak yang kena target dan fitnah.” Mekanisme moderasi konten TikTok yang buruk juga berkontribusi terhadap penyebaran sentimen terhadap suku dan agama tertentu, khususnya pengungsi Rohingya.
Informasi terkait transparansi harta kekayaan kandidat dan rekam jejak mereka juga sangat sulit ditemukan. “Di Indonesia, sebagian besar laporan harta kandidat tidak dapat ditemukan online,” ujar Tharindu dari ANFREL. Mayoritas dari calon anggota legislatif belum melaporkan harta kekayaan mereka bahkan setelah terpilih di Februari 2024 lalu. Pada awal 2023, beberapa pejabat publik dan politisi dihukum karena melakukan tindak pidana korupsi, yang terungkap secara mandiri oleh pengguna media sosial yang meneliti laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) tahunan yang terbuka untuk umum. sebelumnya, peraturan terkait LHKPN telah dikritisi karena tidak memiliki konsekuensi pidana untuk pejabat yang tidak melaporkan harta kekayaannya, maupun yang memiliki kekayaan tidak wajar.
Yang baik dan buruk tentang kecerdasan buatan
Selama proses pemilu, banyak konten AI generatif digunakan dalam kampanye oleh banyak pihak, memicu sikap yang beraneka macam terhadap penggunaannya. Platform seperti Midjourney atau OpenAI digunakan dalam kampanye-kampanye ini dan telah muncul seruan untuk pertanggungjawaban platform guna mencegah penyalahgunaan AI.
Pada bulan Januari 2024, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) bersama 18 partai politik peserta pemilu, tim sukses pasangan calon presiden dan wakil presiden, serta Koalisi Damai mendeklarasikan Komitmen Bersama Kampanye Pemilu Berintegritas di Media Sosial Pemilu 2024.
Afifah menjabarkan pengamatannya terhadap penggunaan deepfake dan AI generatif:
“Generasi X atau Boomers – kayak mama papaku gitu – mereka suka amazed sama AI karena buat mereka itu teknologi yang baru dan keren banget.”
Sebaliknya, di kalangan muda, penggunaan AI dan lebih lagi AI generatif dipandang negatif akibat dampak langsungnya terhadap pekerjaan para pekerja kreatif. Selain itu, terdapat juga persepsi bahwa kampanye yang menggunakan AI “kekurangan anggaran” untuk membayar pekerja sungguhan, membuatnya terkesan “murahan”. Menurut penelitian IDNTimes tentang tren dan perilaku Gen Z Indonesia, Gen Z cenderung kurang terkesan dengan perkembangan teknologi baru karena mereka lebih dekat dengan dunia digital, sehingga lebih mudah mengikuti perkembangan. Gen Z Indonesia juga paling peduli dengan kesenjangan sosial-ekonomi, termasuk kesempatan yang sama, hak untuk bekerja, dan upah yang adil di semua profesi, termasuk mereka yang bekerja di sektor yang kurang formal seperti pekerja kreatif.
Samuel berkomentar bahwa banyak orang kesulitan mengenali konten AI generatif: “Pengetahuan soal AI ini kurang terdistribusikan. Hanya teman-teman yang memang tertarik di bidang teknologi mengerti perbedaan mana yang pakai AI dan mana yang tidak.”
John berkomentar tentang penggunaan AI:
“Saya berhati-hati dalam menggambarkan penggunaan AI generatif sebagai sesuatu yang secara intrinsik berbahaya. Tidak demikian. Saya meyakini bahwa (AI generatif) tidak buruk, namun kita perlu menetapkan batasan pengaman untuk mencegah penyalahgunaan atau penyelewengan teknologi. Khususnya semasa pemilu, ketika pemilih menentukan pilihan berdasarkan persepsinya terhadap identitas calon, penggunaan teknologi tanpa pengaturan dapat mendistorsi proses demokrasi.” Tanpa disadari, pemilih dapat mendukung persona yang diciptakan oleh AI dan tidak menggambarkan calon yang mereka pilih secara akurat. Selain itu, AI generatif juga berpotensi disalahgunakan dan diselewengkan. Kita perlu melangkah dengan hati-hati dan perlu ada pembahasan tentang penggunaannya (yang baik) dalam pemilu.”
Dia juga menggarisbawahi pentingnya batasan pengaman terhadap penggunaan AI. “Meskipun sudah diterbitkan, pedoman etik yang ada tidak cukup untuk menanggulangi penggunaan AI yang sudah berlangsung semasa pemilu. Kami rasa tidak banyak kesiapan dalam menghadapi isu ini.”
“Apa kalian takut menyuarakan fakta?”
Kami mengajukan pertanyaan ini sebagai refleksi terakhir bagi para narasumber, setelah mereka menceritakan pengalaman mereka dalam pemilu tahun ini.
Samuel sangat bersemangat untuk berkontribusi dalam pendidikan politik bersama rekan-rekannya di PapuanVoices. “Buat saya, ini adalah bagian dari keberhasilan dalam memengaruhi orang-orang tentang fakta penerapan hukum.” Katanya. “Kami bisa membuat teman-teman yang [bekerja di pihak] berwajib untuk berpikir kritis mengenai posisi kekuasaan mereka, bukan hanya sekedar menjalankan perintah.”
Afifah mengungkapkan bahwa ia sempat merasa takut untuk membagikan konten yang kritis terhadap pemerintah, tetapi ia tetap tidak gentar dan telah menemukan cara untuk membagikan informasi, sesuai dengan gayanya. “Aku sering repost story atau tweet yang sejalan sama aku buat nunjukin stance-ku.” Ia mengakui bahwa meskipun ada peningkatan antusiasme untuk berpartisipasi dalam pemilu, banyak yang berpartisipasi di tingkat permukaan, dan bahwa, “PR kita sekarang gimana menciptakan pendidikan politik yang substansial yang dapat menembus masyarakat umum, jadi mereka bisa milih berdasarkan informasi yang kredibel.”