Membongkar dugaan kecurangan pemilu di Mahkamah Konstitusi rasanya nyaris bagaikan menentang matahari karena yang sedang dipertanyakan adalah kekuasaan saat ini. Nyatanya, salah seorang anak presiden adalah kandidat dalam pemilihan umum (pemilu) presiden. Bahkan, relasi ini sejak awal dimungkinkan terjadi secara hukum, tersebab relasi nepotisme pula, melalui adik ipar presiden yang saat itu menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi. Seharusnya, tentu relasi nepotisme seburuk ini tak boleh terjadi dalam sebuah republik. Meski para pelayan undang-undang berusaha keras menyembunyikannya, tetapi konstitusi kita yang mengandung gagasan negara hukum dan prinsip pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil), jelas melarangnya.
Pada saat yang sama, narasi tentang pemilihan presiden kerap diidentikkan semata-mata dengan banyaknya suara, bukan tentang nilai-nilai bernegara dalam republik. Maka, protes tentang relasi nepotisme yang parah itu dilawan dengan narasi tentang pengerdilan pemilu sebagai jumlah suara: terserah rakyat nanti mau memilih siapa. Padahal, pemilu bukan sekadar suara (votes), melainkan juga tentang proses kompetisi politik yang Luber Jurdil sejak awal, bahkan sejak pendataan pemilih. Bahkan, pemilu pada prinsipnya adalah soal menerjemahkan pikiran manusia-manusia yang abstrak mengenai hidup bersama dalam negara, menjadi lembaga-lembaga yang akan mengonkretkan pikiran abstrak tadi dalam sebuah sistem ketatanegaraan.
Repotnya, sebagaimana internet, sebuah jaringan berpikir yang dibuat manusia bisa diretas, pikiran manusia pun bisa diretas. Sangat mungkin saat mencoblos surat suara, pikiran orang sudah diretas, bukan dengan pikiran jernih tentang politik, tetapi dengan uang, ancaman, atau suruhan atasan. Moda peretasan pikiran ini tidak dapat dideteksi pada surat suara, apalagi pada hasil penghitungan, yang juga berpotensi mendapatkan bentuk-bentuk intervensi lainnya.
Maka, perselisihan hasil pemilihan umum tidak seharusnya hanya sebagai pembuktian selisih suara. Perselisihan hasil pemilihan umum harus dikembalikan pada esensi keadilan pemilu, yaitu untuk membuat terang, hal-hal yang memengaruhi proses pemilihan secara luas.
Terang saja, Undang-Undang Pemilu belum menjangkau isu-isu yang hari-hari ini kita bicarakan. Sebab soal nepotisme yang akut ini memang belum pernah terjadi dalam sejarah politik Indonesia. Bahkan, UU Pemilu yang dibuat pada 2017 itu juga masih banyak mengandung kelemahan yang sebenarnya sudah terdeteksi sejak Pemilu 2019, tetapi tetap disepakati untuk tidak diubah oleh pemerintah dan DPR. Kesepakatan itu, bisa diduga, berkaitan erat dengan longgarnya beleid itu sehingga menguntungkan para politikus yang juga berperan sebagai pembuat undang-undang.
Karena itu, Mahkamah Konstitusi memang perlu keluar dari undang-undang dan mesti masuk pada tafsir konstitusi untuk bisa mengadili perselisihan pemilu presiden. Mahkamah Konstitusi sesungguhnya kerap melakukan hal ini. Misalnya saat mengonstruksikan ”sistematis, terstruktur, dan masif” atau meletakkan pemilihan kepala daerah sebagai pemilu. Keduanya, lantas justru diadopsi oleh undang-undang.
Kerangka undang-undang bahwa persoalan pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif (TSM) harus selesai di Badan Pengawas Pemilu, misalnya, sesungguhnya tidak mengerangkeng Mahkamah Konstitusi, justru karena Mahkamah Konstitusi adalah juga penafsir konstitusi. Penalaran hukum Mahkamah Konstitusi perlu berangkat dari konstitusi itu sendiri, bukan dari undang-undang. Dugaan kecurangan yang harus diperiksa memang melampaui satu undang-undang, melainkan banyak undang-undang, mulai dari undang-undang tentang keuangan negara karena menyangkut APBN sampai dengan undang-undang tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Maka, konstitusilah yang bisa memberikan kejelasan dan menjadi sumber penalaran.
Begitu pula pembatasan waktu 14 hari oleh undang-undang, sebenarnya bisa saja dikesampingkan oleh Mahkamah Konstitusi. Ini pernah terjadi pada 2003 saat Mahkamah Konstitusi mengesampingkan Pasal 50 UU Mahkamah Konstitusi yang membatasi pengujian undang-undang hanya untuk undang-undang yang dibuat setelah Amandemen UUD 1945 (Putusan 004/PUU-I/2003). Dengan begitu, Mahkamah Konstitusi bisa mencari keadilan yang substantif tanpa dikerangkeng oleh waktu yang sangat terbatas.
Satu langkah terobosan sudah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, dengan mengundang menteri-menteri untuk pertama kalinya ke Mahkamah Konstitusi. Bisa jadi ini adalah penanda penting bagi pengadilan yang sudah lebih progresif. Sebab yang dipertaruhkan di sini tidak hanya legitimasi Mahkamah Konstitusi, tetapi juga legitimasi pemerintahan yang akan datang dan demokrasi Indonesia.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2024/04/03/mahkamah-konstitusi-dan-kerangkeng-keadilan-pemilu