Benarkah kemunduran demokrasi hanya keprihatinan kalangan kelas menengah terdidik? Pertanyaan yang diajukan Ulil Abshar-Abdalla dalam Analisis Politik pada Kamis (15/2/2024) harus mendapatkan bantahan agar tidak ada salah kaprah tentang demokrasi yang bisa membuat kita percaya bahwa situasi demokrasi saat ini baik-baik saja.
Bahkan, seperti ditulis Ulil di bagian penutup, ketika ada tanda-tanda kemunduran, dengan mengutip Benjamin Bland (Foreign Affairs, 13/2/2024), ia yakin demokrasi Indonesia tidak bisa dibunuh karena adanya masyarakat sipil, kebebasan media, dan pembatasan kekuasaan presiden karena sistem yang terdesentralisasi. Padahal, saat ini, ketiga faktor itu yang praktiknya sedang jauh.
Sudah banyak laporan yang menggambarkan sempitnya ruang gerak masyarakat sipil. Mulai dari laporan Amnesty International selama tiga tahun berturut-turut sampai laporan penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia yang diluncurkan pada 21 Februari 2024. Begitu pula dengan gambaran kebebasan media, seperti yang dilaporkan Lembaga Bantuan Hukum Pers dalam laporan tahunannya. Ironisnya, justru pembungkaman itu dilakukan kekuasaan yang dipilih secara demokratis.
Bagaimana dengan pembatasan kekuasaan presiden?
Benarkah ada desentralisasi kekuasaan seperti dikatakan Bland? Memang UUD 1945 membuat pembatasan dari segi waktu, yaitu dua periode. Namun, pembatasan kekuasaan dalam demokrasi mensyaratkan adanya lembaga-lembaga yang bisa melakukan pengawasan yang bisa membuat kekuasaan mempunyai akuntabilitas. Nyatanya, besarnya koalisi partai di DPR sebelum proses Pemilu 2024 membuat DPR mandul dalam melakukan semua fungsinya.
Tidak ada kekuasaan ”oposisi” di DPR yang mampu berkata tidak pada apa pun yang diinginkan presiden selama lima tahun belakangan ini. Tidak ada pelaksanaan hak angket, hak interpelasi, apalagi hak menyatakan pendapat, bahkan saat sudah ada putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan adanya intervensi politik dalam putusan yang membuat putra presiden bisa mencalonkan diri.
Tulisan Ulil juga menyederhanakan tingginya angka kemenangan dalam pemilu sebagai ”fakta bahwa rakyat tetap inginkan jalan pembangunan Jokowi”. Pernyataan ini sangat bermasalah karena pemilu tidak bisa hanya dipahami sebagai angka hasil. Penghitungan hasil pemilu, baik hitung cepat maupun hasil resmi, hanya bisa menyajikan angka, tetapi tidak bisa menjelaskan bagaimana angka itu muncul.
Demokrasi bukan angka, melainkan partisipasi politik yang prosesnya harus bisa dipertanggungjawabkan sejak awal penentuan kandidat sampai penentuan hasil. Sejak awal, saat keabsahan pencalonan saja nyata melanggar kepatutan, legitimasi pemilu sudah jatuh. Pemilu punya justifikasi, tetapi tidak legitimasi.
Begitu pun sejak pencalonan sampai dengan keluarnya angka kemenangan, banyak hal yang mesti ditelaah untuk mengukur kualitas demokrasi. Angka bisa saja terbentuk dari berbagai faktor kemungkinan: salah input, instruksi mencoblos dari atasan, ancaman untuk mencoblos, politik uang, dan lain sebagainya. Karena itulah, mekanisme pemilu di mana pun di dunia selalu menyediakan forum untuk menyelesaikan potensi kecurangan pemilu, pelanggaran, dan sengketa hasil pemilu.
Secara empiris, potensi kecurangan selalu ada. Secara empiris pula, kecurangan cenderung terjadi saat penguasa menyalahgunakan kekuasaannya. Apa lacur, hukum mempunyai banyak keterbatasan karena pembentuk dan penegak hukum adalah pemegang kekuasaan.
Pemilu 2024 membuat kita harus memikirkan ulang soal cara berpolitik yang tidak mengedepankan keadaban dan kejernihan etik dan akal. Bukan untuk mengatakan ada kelompok lebih bodoh dari yang lain, seperti dipersepsikan oleh orang-orang yang ingin memisahkan dunia intelektual dengan rakyat pada umumnya saat guru-guru besar menyatakan sikapnya. Namun, untuk menunjukkan pentingnya cara berpolitik yang mendidik.
Adanya perbedaan tingkat pendidikan adalah fakta demografis yang bahkan biasa dijadikan data dalam membuat rencana-rencana pembangunan. Politikus seharusnya tidak memanipulasi fakta tingkat pendidikan itu dengan menggunakan cara-cara berpolitik yang tidak membuat pendidikan politik kita lebih baik. Misalnya dengan membuat model kampanye yang hanya mengedepankan gimik di media sosial atau menggunakan politik gentong babi (pork barrel politics) sebagai bujukan untuk memilih.
Tentu saja ini pilihan belaka. Politikus yang melihat demokrasi hanya sebagai cara untuk meraih kekuasaan memang akan memilih menggunakan cara-cara instan untuk meraih kekuasaan. Saya merindukan politikus yang mengedepankan keadaban bangsa. Seperti halnya Wakil Presiden pertama RI Mohammad Hatta yang justru lantang berujar tentang tanggung jawab moral kaum inteligensia pada Hari Alumni I Universitas Indonesia, 11 Juni 1957. Hatta menunjukkan bagaimana sebenarnya tidak ada dikotomi antara kelompok terdidik dan rakyat. Ia mempraktikkan bagaimana berpolitik dengan mengedepankan intelektualitas dan moralitas sebagaimana dulu para pendiri bangsa kita berpolitik.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2024/02/22/demokrasi-bukan-hanya-pencoblosan