Hukum belakangan ini sering kali dijadikan perisai dari pertanyaan soal benar dan salah. Seakan-akan, bila sesuatu diatur hukum, ia menjadi benar. Sebaliknya, sesuatu yang tidak diatur hukum, maka boleh saja dilakukan karena tidak ada larangan tertulis. Luput disadari, hukum tidak jatuh dari langit, seperti hujan yang jatuh dari awan kebaikan. Hukum adalah hasil karya manusia belaka, yang penuh kepentingan.
Hukum lazim dipahami sebagai peraturan, putusan pengadilan, aparat penegak hukum, dan apa pun yang diputuskan penguasa. Hukum bersifat memaksa pada penduduk sebuah negara karena ia dibuat dalam sebuah produk dari kekuasaan yang sah. Bahkan, hukum bisa jadi lebih keras ketika mengandung ancaman pidana, seperti penjara, denda, atau sanksi administratif. Namun, negara hukum bukan sekadar negara yang didasarkan pada hukum negara.
Bila kebenaran tindakan seseorang hanya didasarkan pada norma hukum negara tertulis, kita telah melecehkan esensi manusia sebagai makhluk berakal budi. Sebab, justru nilai-nilai kebenaran dan keadilan ini yang dituangkan dalam norma hukum negara, bukan sebaliknya: hukum yang menentukan benar dan salah. Timbangan seseorang tentang benar dan salah inilah yang dinamai etik.
Memang, karena rumitnya tatanan bernegara, khususnya dalam pembuatan dan penerapan hukum, tak semua hal tentang benar dan salah akan dimuat dalam hukum. Hanya hal-hal yang bisa disepakati dapat dikenal sebagai norma hukum negara. Sisanya tetap jadi norma-norma asalnya, yaitu norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Maka, etik sesungguhnya berada di atas hukum karena justru di sinilah letak rasionalitas dan moralitas manusia seharusnya bisa diukur.
Misalnya, saat ada hukum yang membuat seseorang tak bisa melakukan sesuatu, etik akan menuntun kita untuk menimbang apa tindakan yang harus kita lakukan? Apakah tindakan salah, dengan memanfaatkan hubungan kekerabatan dengan hakim untuk memengaruhi isi putusan? Atau tindakan benar, dengan menggunakan proses dan argumen yang sesuai dengan aturan main yang ada?
Kritik pada kekuasaan yang tidak etis dijawab dengan menunjuk pasal dalam peraturan. Contohnya saat membahas nepotisme, yang akan ditunjukkan adalah fakta tentang tidak adanya peraturan yang secara definitif menjelaskan dan memberi sanksi pada nepotisme.
Begitu efektifnya hukum yang bersifat memaksa dan begitu mudahnya hukum dimanipulasi oleh kekuasaan sehingga hukum juga dipakai penguasa untuk mengancam kritik pada kekuasaan. Ironisnya, kritik sejatinya justru perilaku etik, yaitu membongkar kebenaran dan kesalahan dalam pikiran atau perilaku.
Hari-hari ini, penguasa justru menggunakan hukum untuk mengancam kritik. Misalnya, putusan yang akan dibacakan pada 8 Januari 2024 terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, yang mendiskusikan hasil riset yang membahas penyalahgunaan kekuasaan. Padahal, mereka tak tengah menjelek-jelekkan seseorang, tetapi perilaku kekuasaan.
Memang, hukum adalah fasilitas yang sangat penting bagi kekuasaan. Bayangkan, betapa banyak larangan, kebolehan, izin, dan dispensasi yang bisa dibuat dalam seluruh aspek kehidupan bernegara yang bisa dibuat oleh penguasa. Mulai dari izin usaha, peruntukan lahan, sampai dengan menentukan kelompok mana yang boleh atau tidak boleh diakui negara. Tentu saja, secara prinsip, kekuasaan penguasa yang sangat besar untuk mengatur ini dibatasi. Di sinilah inti gagasan negara hukum saat kekuasaan dibatasi oleh timbangan baik dan salah dalam konteks hak-hak warga.
Gagasan negara hukum dioperasionalkan dengan mengatur bahwa peraturan perundang-undangan harus dibuat secara partisipatif, transparan, serta didukung studi, dan berpihak kepada kelompok rentan. Pengadilan juga harus dituntun prosedur hukum yang jelas dan adil dan didasarkan pada penalaran hukum yang wajar. Masalahnya, di tangan penguasa yang tidak lagi melihat etik sebagai sesuatu yang penting, prinsip-prinsip ini bisa dipinggirkan dengan mudah. Di tangan penguasa seperti ini, hukum negara bisa menjadi seperti hukum rimba.
Maka, menjelang pergantian penguasa, ukuran elektabilitas harus ditekankan pada etikabilitas, yaitu kemampuan memahami dan mempraktikkan etik. Elektabilitas tidak boleh hanya tentang popularitas yang bisa dibuat dan dicitrakan.
Penulis: Bivitri Susanti
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/12/27/etik-hukum-dan-kekuasaan
Tanggal: 28 Desember 2023