preloader

Perdagangan Online dan Pencucian Uang


Dalam perkembangan ekonomi digital saat ini, banyak perusahaan yang menyediakan platform atau marketplace untuk perdagangan produk secara online. Dalam transaksi tersebut, pembeli dapat membeli sendiri suatu produk melalui platform yang tersedia. Apakah perusahaan marketplace dapat dilibatkan apabila diduga terjadi tindak pidana pencucian uang?
Tindak pidana pencucian uang merupakan upaya atau tindakan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sehingga tampak seolah-olah berasal dari sumber yang sah. Menurut beberapa ahli, delik utamanya adalah pada menyembunyikan dan menyamarkan harta hasil tindak pidana. Ketentuan ini diatur secara rinci dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
Ada tiga macam pencucian uang yang diaturnya. Pertama, Pasal 3 mengatur setiap orang (pelaku utama) yang melakukan berbagai perbuatan atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidananya dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usulnya diancam dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar.
Tindakan ini disebut juga stand-alone money laundering. Pelaku utama “mencuci sendiri” harta yang berasal dari tindak pidananya, yang disebut juga self laundering. Yurisprudensi jenis ini sudah hampir 200 putusan pengadilan, termasuk kasus Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang dipidana seumur hidup karena kasus korupsi dan pencucian uang.
Kedua, Pasal 4 mengatur pelaku lain (pihak ketiga) yang menyembunyikan asal-usul harta yang diketahuinya atau patut diduganya hasil kejahatan akan dipidana dengan hukuman penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar. Pelaku ini disebut juga “gate keeper” dan sampai saat ini belum ada yurisprudensi yang menggunakan pasal ini.
Ketiga, Pasal 5 mengatur bahwa setiap orang yang menerima atau menguasai pembayaran, sumbangan, dan sejenisnya yang diketahuinya atau patut diduganya menggunakan harta hasil kejahatan diancam hukuman penjara lima tahun dan denda Rp 1 miliar. Sudah ada beberapa yurisprudensi menggunakan pasal ini, seperti kasus Andhika Gumilang yang dipidana empat tahun karena menguasai harta hasil kejahatan perbankan dan pencucian uang oleh Malinda Dee.
Dari ketiga pasal tersebut, unsur kesalahannya sama, yaitu “yang diketahuinya atau patut diduganya” merupakan hasil tindak pidana. Dari rumusan itu terdapat dua dimensi, yaitu kesengajaan dan kelalaian. Hal ini sama dengan rumusan Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penadahan.
Menurut Mr Drs Utrecht, dalam Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana Jilid Satu, dalam penadahan yang disengaja, pembuat harus (pasti) mengetahui bahwa barang itu adalah hasil kejahatan. Sedangkan dalam penadahan karena kelalaian, pembuat harus mengerti (menduga keras) bahwa barang itu adalah hasil kejahatan.
Ada tiga kemungkinan modus operandi pencucian uang yang terjadi pada perusahaan marketplace. Pertama, perusahaan ini dijadikan sarana pencucian uang dan dikendalikan oleh pelaku dengan sepengetahuan pengurus korporasi.
Kedua, perusahaan ini disalahgunakan oleh pelaku kriminal tanpa sepengetahuan pengurus korporasi. Misalnya, pelaku memakainya untuk menjual barang terlarang. Ketiga, perusahaan menerima pembayaran yang berasal dari tindak pidana, seperti korupsi.
Modus pertama hampir tidak mungkin dilakukan oleh perusahaan marketplace tapi modus kedua mungkin. Namun, untuk dua modus ini, jelas korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.
Kasus pencucian uang yang dilakukan orang lain (gate keeper) harus memenuhi sejumlah syarat: (1) ada tindak pidana asal yang selesai dilakukan, (2) ada harta dari tindak pidana asal, (3) ada perbuatan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta, (4) pelaku mengetahui atau mengerti bahwa harta itu berasal dari kejahatan.
Kalau yang terjadi adalah modus ketiga, penerapan pasal ini harus memenuhi sejumlah syarat: (1) ada tindak pidana asal yang sudah selesai dilakukan orang lain; (2) tindak pidana itu melahirkan harta, misalnya dana; (3) perusahaan menikmati harta tersebut dengan menerima melalui penempatan, pembayaran, dan sejenisnya; (4) ada unsur “yang diketahuinya” berupa “pelaku harus/pasti mengetahui” atau unsur “patut diduganya” berupa pelaku memang “mengerti (menduga keras)” bahwa harta itu hasil kejahatan.
Jadi, saya berpendapat bahwa perusahaan marketplace yang semata-mata menampung dana dari pembeli-untuk kemudian diteruskan kepada penjual saat transaksi selesai-tidak dapat dimintai pertanggungjawaban, khususnya dikenai pasal-pasal terkait dengan pencucian uang karena dana itu bukan berasal dari tindak pidana (dalam hal penjualan barang terlarang). Dana itu barulah dapat dikatakan sebagai dana hasil kejahatan ketika sudah menjadi milik penjual. Mengenai asal-usul dana itu, saya berpendapat bahwa akan sangat sulit bagi perusahaan marketplace untuk mengetahui atau menduganya.
Tautan sumber: https://kolom.tempo.co/read/1213818/perdagangan-online-dan-pencucian-uang
diakses pada:  31 Juli 2019